International

5 keputusan teknologi yang sejalan dengan tech intensity

| Senin 07 Jan 2019 15:16 WIB | 2366




Matakepri.com, Jakarta: Tahun 2019 diawali dengan optimisme terhadap prospek sosial dan ekonomi masyarakat, seperti kemunculan inisiatif teknologi yang menjadi penggerak Revolusi Industri 4.0.


Artificial Intelligence (AI), Mixed Reality (MR) dan Internet of Things (IoT) yang banyak diadopsi perusahaan tidak hanya menjadi pendorong utama transformasi digital tetapi juga menciptakan dampak positif yang berkelanjutan terhadap cara masyarakat bekerja, hidup, terhubung dan bermain. 

 

Dengan dukungan instrumen kebijakan pemerintah, Indonesia merupakan salah satu negara yang terus mengadopsi teknologi.


Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pembelanjaan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) menyumbang Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia yang terus meningkat, dimulai dari 5,1 persen pada kuartal pertama hingga 5,3 persen pada kuartal kedua tahun 2018 (yoy).


Sementara itu, International Data Corporation (IDC) memprediksi jumlah total anggaran belanja teknologi juga akan menyentuh angka USD266 juta pada tahun 2021. Mayoritas pembelanjaan ke layanan komputasi awan, peranti keras, peranti lunak, dan layanan cloud-enabling.

 

“Kita melihat semakin banyak perusahaan yang mengadopsi teknologi untuk menjawab tantangan-tantangan yang hadir di era disrupsi ini," kata Haris Izmee, Presiden Direktur Microsoft Indonesia.


"Beberapa industri bahkan tidak hanya terdisrupsi, tetapi juga berevolusi, sehingga adopsi teknologi dan proses digital diperlukan untuk tetap relevan dan kompetitif dengan perkembangan teknologi.”

 

Untuk merespons disrupsi ini, dapat menerapkan tech intensity. Tech intensity merupakan sebuah terminologi ciptaan Satya Nadella, CEO Microsoft, yang mendorong perusahaan untuk mempercepat adopsi teknologi agar kemudian fokus membangun kemampuan digital masing-masing.



Menurut Microsoft, ada 5 keputusan teknologi yang sejalan dengan tech intensity. 

1. Modernisasi strategi data: Data adalah kunci proses pertumbuhan perusahaan. Pada sejumlah organisasi besar di Asia-Pasifik, yang sering menjadi tantangan bukan ketersediaan data, melainkan tenaga yang dibutuhkan untuk mengelola data perusahaan yang bertambah.


Industri perbankan membutuhkan alat untuk melacak dan menganalisis data acak dari berbagai saluran seperti perangkat, touchpoint terbaru pelanggan, dan arus data pihak ketiga. Perbankan juga mempertimbangkan sumber daya tambahan untuk mengatasi kenaikan persyaratan peraturan dan kepatuhan. 


2. Mempercepat adopsi cloud secara menyeluruh: Dari awal kemunculan cloud, banyak CEO yang mempertanyakan risiko keamanan data serta kepatuhan terhadap regulasi. Perusahaan kini dapat memilih untuk mengaplikasikan strategi Hybrid Cloud yang memungkinkan pembagian data dan aplikasi di dua domain tersebut.


Solusi ini memberikan perusahaan kemampuan untuk mengukur infrastuktur on-premise mereka melalui public cloud secara mulus tanpa harus memberikan akses pusat data kepada pihak ketiga, serta tetap patuh terhadap regulasi yang berlaku. 


Microsoft mengklaim layanan hybrid cloud ini sudah tersedia melalui enam mitra lokal di Indonesia, yaitu Telkom Telstra, CBN Cloud, ViBiCloud, Visionet (VidiaCloud), Datacomm, dan Angkasa. 


3. Pengembangan keterampilan digital tenaga kerja: Para CEO perlu memprioritaskan pengembangan keterampilan tenaga kerja agar terjadi kesinambungan antara kemampuan pekerja dan proses transformasi.


4. Menumbuhkan pola pikir digital: Menurut Peter Drucker, culture eats technology for breakfast. Makna dari istilah ini adalah sebesar apapun pengaplikasian teknologi tidak akan mampu mentransformasi perusahaan ke arah digital secara menyeluruh, apabila tidak dibarengi dengan perubahan budaya.


5. Organisasi digital ditandai dengan kepercayaan: Organisasi membutuhkan tahunan untuk membangun kepercayaan, yang ironisnya dapat dihancurkan dalam sekejap mata.


Kepercayaan merupakan hal yang krusial bagi organisasi digital yang tidak hanya rentan terhadap serangan dunia maya, tetapi juga menghadapi tantangan lain seperti regulasi yang terus berubah serta ekspektasi kepatuhan etika dalam transaksi online dan penanganan data konsumen. 


Sebagai navigator dalam perusahaan, CEO merupakan penanggung jawab kepercayaan pelanggan dan perlu memastikan bahwa semua unsur kepercayaan: keamanan, privasi, reliabilitas, transparansi, kepatuhan, dan etika.


“Tahun 2019 merupakan tahun transformasi digital. Pemimpin perusahaan akan mengambil langkah untuk merespons bentuk ekonomi baru: ekonomi digital. Dalam merespon hal tersebut, para CEO perlu mempertimbangkan 5 keputusan teknologi tersebut untuk memperkuat strategi digital mereka dan menjadi lebih kompetitif di industri,” tutup Haris. 



(Sumber metrotvnews)



Share on Social Media