Kesehatan
RI Peringkat Tertinggi Kasus DBD
|
Jumat 11 Nov 2016 20:52 WIB
|
1326
MATAKEPRI.COM, Jakarta- Indonesia masih menduduki
peringkat tertinggi dalam jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di
ASEAN. Salah satunya disebabkan buruknya drainase di sekitar 90 persen
kabupaten di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, 90
persen dari 500 kabupaten/kota yang ada di Indonesia merupakan daerah
endemik.
"Termasuk di wilayah Jabodetabek," kata Kepala Badan
Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, di Jakarta,
Senin (7/11). Wilayah tersebut menjadi endemik salah satunya karena
kondisi lingkungan yang kurang kondusif.
Di antaranya memiliki
sistem drainase yang buruk, sehingga menjadi tempat potensial
berkembangnya nyamuk Aedes aegypti yang menjadi perantara penyebaran
DBD. Menurut Djarot, banyaknya saluran air yang mampet atau tidak dapat
mengalir dengan baik menyebabkan banyak genangan air.
"Genangan
tersebut menjadi tempat favorit berkembangnya jentik-jentik nyamuk Aedes
aegypti," jelasnya. Tidak hanya itu, perubahan lingkungan akibat
urbanisasi dan pembangunan pemukiman juga menjadi salah satu faktor
risiko.
Termasuk banyaknya galian-galian bekas proyek
pembangunan, atau galian yang tidak tertutup sempurna juga bisa menjadi
faktor penyebab nyamuk mudah berkembang. Djarot mengatakan, berbagai
metode untuk mengurangi kasus DBD telah dilakukan. Mulai dari pemasangan
kawat nyamuk di ventilasi rumah, menyebarkan vaksin, sampai
penyemprotan.
Namun menurut Djarot, pengendalian DBD selama ini
cenderung hanya dilakukan melalui pengendalian vektornya. Cara yang
paling populer adalah gerakan 3M (menguras, menutup dan mengubur).
Kemudian berubah menjadi 3M plus (gunakan larvasida, kelambu, kawat kasa
dan obat anti nyamuk)," tambahnya.
Namun sayangnya, cara-cara
pencegahan tersebut masih tidak efektif, bahkan disebut sebagai salah
satu penyebab pencemaran lingkungan. Djarot mengatakan, di sejumlah
negara telah diperkenalkan teknik pengendalian DBD yang dikembangkan
oleh Oxcitec dari Oxford, Inggris dan Australia, yaitu penggunaan nyamuk
Aedes aegypti yang tubuhnya diinfeksi oleh bakteri wolbachia.
Kedua
cara terakhir ini pada akhirnya banyak ditentang karena merupakan hasil
rekayasa genetika yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak di
kemudian hari. Sampai kemudian ditemukan TSM (Teknik Serangga Mandul)
yang digunakan untuk memandulkan nyamuk jantan dengan radiasi sinar
gamma.
Tujuan dari teknik tersebut adalah menurunkan jumlah
populasi nyamuk dengan cara menyebarkan nyamuk jantan pada habitatnya.
"Meskipun terjadi perkawinan, antara nyamuk jantan dan betina namun
tidak akan terjadi pembuahan," papar Djarot. Dengan demikian, jumlah
populasi nyamuk Aedes aegypti berangsur-angsur akan menurun.
Peneliti
BATAN, Ali Rahayu menambahkan teknologi serangga mandul (TSM) efektif
mengatasi kasus DBD. "Efektivitas penurunan populasi nyamuk Aedes
aegypti bisa mencapai 96,35 persen," katanya.
Studi Banding
Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kemeterian Desa,
Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Ahmad Erani Yustika
mengatakan dirinya baru saja menerima tamu dari India yang berencana
melakukan studi banding dalam program-program pemberdayaan masyarakat
untuk mengatasi persoalan kesehatan dan pendidikan di Indonesia.
Mereka
studi banding ke kita karena memiliki banyak kesamaan, baik dari sisi
kondisi geografis dan juga penduduk. Utamanya, bagaimana pemerintah
melibatkan masyarakat desa untuk menjadi mitra dalam mengatasi persoalan
kesehatan dan pendidikan di Indonesia. (KJ/q)
Share on Social Media