News, Hukum & Kriminal, Politik

Setnov : Media Sosial, Korupsi, dan Meme Kesaktian

| Selasa 03 Oct 2017 11:33 WIB | 1757




MATAKEPRI.COM, Jakarta - "Sakti mandraguna", barangkali pikiran inilah yang melintas di benak publik, dan sudah tentu kita dibuat terheran-heran ketika mendengar putusan Hakim Cepi Iskandar pada sidang praperadilan yang memutuskan Setya Novanto alias Setnov tidak bersalah dan meminta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk tidak melanjutkan proses hukum atasnya. Tentunya publik tidak serta merta hilang ingatan atas berbagai kasus korupsi yang melibatkan Setnov sebagai salah seorang tersangkanya. Tercatat ada tujuh kasus yang melibatkan dirinya, yakni kasus Cessie Bank Bali (1999), Beras Vietnam (2003), Limbah B3 (2006), Proyek PON Riau (2012), "Papa Minta Saham" (2015), Etik Trump (2015), dan terakhir E-KTP (2017). 

Lolosnya Setnov dari kasus yang menjeratnya menasbihkan bahwa dirinya adalah politikus yang licin bak belut, di mana hukum negara ini sampai detik ini belum mampu menangkapnya sebagai pesakitan koruptor. Tontonan hukum ini memang sangat menyedihkan. Alih-alih sebagai mekanisme peradilan yang independen dan bebas dari politik kepentingan apapun, dalam realitasnya mekanisme peradilan kita belum cukup memberikan performa yang baik untuk dilihat sebagai tuntunan, utamanya bagi publik yang menghendaki negara mampu menghadirkan wajah keadilan yang berkemanusiaan. 

Bangsa ini dilahirkan sebagai negara hukum, maka sudah sepatutnya jika supremasi hukum adalah kunci bagi para pencari keadilan dan menghukum oknum-oknum yang terbukti merugikan negara. Publik sepertinya sudah sangat gerah dan bosan melihat mekanisme penegakan hukum di negara ini yang tidak pernah benar-benar serius menangani para koruptor. Terlebih lagi KPK saat ini sedang mengalami problem 'kepentingan politik' oleh lembaga legislatif. Kemarahan publik atas terbebasnya Setnov diwujudkan dalam berbagai ekspresi, salah satu di antaranya dengan membuat pernyataan seperti "Hari Kesaktian Setnov" pada 29 September kemarin. 

Tentunya fenomena tersebut sangat menggelitik mengingat dalam waktu yang tidak berselang lama, bangsa ini memperingati Hari Kesaktian Pancasila. Ekspresi publik tersebut bagi yang memahami tentunya akan melihat sebagai suatu sindiran. Dalam komunal orang Jawa ada istilah "gojek pari keno" yang diartikan menyindir seseorang atau sesuatu dengan cara yang jenaka (melalui candaan). Dan, inilah yang dilakukan oleh publik saat ini, ketika media sosial menjadi salah satu sarana penyampai pesan (ekspresi) yang sangat efektif. Isu politik dan hukum pun, menjadi tren yang paling sering dibicarakan dalam media sosial, utamanya Facebook dan Twitter.

Meme 'Kesaktian Setnov' yang beredar begitu masifnya di dunia maya pada satu sisi menjadi kontrol sosial bagi proses peradilan atau penegakan hukum di negeri ini. Secara sosiologis, realitas publik telah termediasi oleh media sosial, sehingga media sosial menjadi ruang publik yang begitu tajam memberikan kontrol sosial, baik menyangkut sengkarut perpolitikan, ketidakadilan hukum, sampai kasus perselingkuhan. Melalui media sosial publik memiliki mata dan telinga yang tidak terbatas sehingga informasi apapun dapat dengan cepat untuk diakses, terlebih lagi persoalan korupsi yang menyangkut salah seorang pejabat negara. 

Dengan ini tentunya diharapkan, media sosial sebagai ruang publik mampu memainkan peran untuk melakukan kontrol sekaligus tekanan sosial bagi pihak-pihak yang selama ini dianggap merugikan negara. Dalam kajian sosiologi, hukuman sosial (social punishment), baik berupa sindiran maupun gambar meme merupakan sebuah tekanan sosial dengan tujuan memberikan efek 'malu', pada kasus ini tentunya dialamatkan kepada Setnov. 

Publik pada akhirnya juga berpikir simpel sebagai bentuk kekecewaan, jika memang hukum formal negara ini tidak mampu menjerat maka biarkan orang tersebut hidup dalam dunia di mana semua orang mencibir dan mencemoohnya sebagai seorang koruptor. Jika seorang manusia masih memiliki hati tentunya dirinya tidak akan merasa nyaman dan tenang berada dalam lingkungan seperti itu. 

Negara ini adalah negara hukum, maka sudah menjadi keharusan jika lembaga peradilan merupakan satu-satunya tempat untuk mencari keadilan dan kebenaran. Jangan sampai komitmen kita sebagai negara hukum justru teralienasi oleh praktik-praktik tebang pilih dalam proses peradilan hukumnya. Lord Acton semasa hidupnya pernah mengeluarkan diktum "power tend to corrup, dan absolute power corrupts absolutely", dan sampai detik ini diktum tersebut semakin kuat terbukti. 

Pun menurut Montesquie, dalam tulisannya Le Esprit Des Lois, yang kemudian diterjemahkan dalam judul The Spirit of Law, menjelaskan bahwa orang berkuasa cenderung memiliki tiga hal yakni pertama, kecenderungan mempertahankan kekuasaan. Kedua, kecenderungan memperbesar kekuasaan, dan ketiga, kecenderungan memanfaatkan kekuasaan. Relasi kekuasaan dan korupsi ibarat dua sisi mata uang yang selalu bersandingan satu dengan yang lainnya. Tesis inilah yang seharusnya disangkal dengan penegakan hukum yang benar-benar independen. 

Maka, di sini perlunya penguatan kontrol publik atas penyelenggaraan kekuasaan yang dimiliki oleh para pejabat negara, mengingat kecenderungan penyalahgunaan kekuasaan merupakan suatu keniscayaan. Upaya penegakan pemberantasan korupsi harus dilakukan dengan serius, jangan sampai publik kemudian membuat mekanisme peradilannya sendiri, dan ini bukan tidak mungkin dilakukan jika wajah peradilan yang adil di mana seharusnya hadir di negara hukum pada kenyataannya justru absen. 

Dan, jangan sampai publik mengeluh hingga kemudian terlontar kalimat "biarlah pengadilan akhirat yang akan mengadili". Jika ini terjadi, dan barangkali sudah terjadi, maka negara telah gagal menjalankan perannya untuk hadir membawa keadilan yang hakiki bagi rakyat.(detiknews/***)



Share on Social Media

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait