Kesehatan
| Selasa 29 Nov 2016 03:57 WIB | 1365
MATAKEPRI.COM,Batam -- Kemajuan teknologi
pangan melahirkan inovasi-inovasi baru terkait dengan pengembangan
pangan bagi manusia, salah satunya ialah rekaya genetika. Rekaya
tersebut bisa diperuntukkan bagi hewan, tanaman, buah-buahan, atau
sayur-sayuran.
Munculnya perdebatan mengenai produk hasil
rekayasa genetis telah menarik dunia internasional. Lembaga-lembaga
terkait menuntut produsen untuk mencantumkan label halal khusus produk
rekayasa genetis atau GMO (Genetically Modified Organism).
Staf
Kementrian Pertanian Farriza Diyasti mengatakan, dalam penelitiannya,
GMO merupakan makhluk hidup yang telah ditingkatkan kemampuan
genetisnya. GMO lebih populer dengan istilah tanaman transgenik.
Awalnya, kata dia, teknologi ini lahir untuk memenuhi kebutuhan hidup
manusia yang semakin meningkat. Terutama, kebutuhan pasokan pangan.
Dalam teknologi pertanian pangan biasanya rekayasa genetis dilakukan
untuk peningkatan produksi, peningkatan kualitas, perbaikan pascapanen,
dan perbaikan proses. Penggunaannya memang secara umum bermanfaat.
“Tetapi, pada perkembangannya kontroversial,†kata dia.
Temuan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyimpulkan, terdapat jenis bahan
kimia baru dalam organisme transgenik dan produknya. Bahan kimia
tersebut berpotensi menimbulkan penyakit baru.
Dia
mencontohkan, terdapat gen AAD dalam kapas transgenik yang dapat
berpindah ke bakteri yang menjadi penyebab kencing nanah. Sehingga,
bakteri ini menjadi kebal terhadap antibiotik dan sulit disembuhkan.
Sarung tangan dan kondom berbahan karet transgenik dengan lateks
berkadar protein tinggi bisa mengakibatkan alergi bagi pemakainya.
Tanaman transgenik juga berdampak pada efek pestisida yang dapat
mematikan daur hidup hewan di sekitarnya. Akibatnya, secara tidak
langsung keseimbangan ekosistem tergangu.
Selain kesehatan,
terdapat aspek religi bagi teknologi rekayasa genetis. Makanan yang
mengandung bahan rekayasa genetis akan haram jika menggunakan gen atau
enzim babi, menggunakan gen hewan, dan disuntikkan pada sayuran.
Di samping itu pula, kata dia, bersifat menjijikkan jika menggunakan
bakteri Escerichia Coli yang didapatkan dari tinja untuk memproduksi
hormon tertentu. Dia pun merekomendasikan perlunya penelitian lanjutan
agar bahan-bahan rekayasa genetika tersebut, selain aman dari aspek
kesehatan, juga tidak bermasalah dari segi syar’inya.
Polemik
tanaman rekayasa di Tanah Air mendorong Majelis Ulama Indonesia (MUI)
untuk mengeluarkan fatwa secara khusus. Pada Agustus 2013 MUI menyatakan
rekayasa genetika terhadap hewan, tumbuh-tumbuhan, dan mikroba (jasad
renik) adalah boleh (mubah) dengan sejumlah syarat, yaitu bertujuan
untuk kemaslahatan, tidak berbahaya bagi manusia dan lingkungan, dan
tidak menggunakan gen atau bagian lain yang berasal dari tubuh manusia
unsur lain yang diharamkan, seperti enzim babi.
Auditor LPPOM
MUI Chilwan Pandji mengimbau produsen sebelum mencantumkan label halal
pada produk rekayasa genetis agar melakukan uji coba apa sajakah bahan
kimia atau gen yang digunakan. “Harus diverikasi terlebih dahulu,†kata
dia.
Makanan tersebut
bisa dinyatakan halal, ungkap dia, bila media GMO yang digunakan
berasal dari media dan gen tersebut halal dan tidak terkontaminasi
dengan unsur haram. Bila pada faktanya produk tersebut memakai unsur
haram, seperti penggunaan mikroba, gen dari unsur haram, seperti enzim
babi atau gen manusia, maka bisa divonis haram. Terlebih, efek negatif
yang diakibatkan dari mengonsumsi makanan hasil rekayasa genetis dengan
bahan haram tersebut.