News, Kesehatan

Hati-Hati Obes, Sedentari Menyerang Orang-Orang Mager

| Sabtu 28 Apr 2018 12:23 WIB | 3112



Sedentari Menyerang Orang-Orang Mager (net)


Sejak diterima bekerja di perusahaan swasta ternama di Jakarta, Helen mengalami kenaikan berat badan yang signifikan. Secara bertahap, tiap bulan timbangan bobotnya kian bertambah. Ia masih ingat, dua tahun lalu ketika tes seleksi karyawan, berat badannya berada di angka 49 Kg, kini telah mencapai 65 Kg.

Helen mengalami dilema. Padatnya agenda pekerjaan telah mengubah gaya hidupnya, dari seorang mahasiswa aktif menjadi pekerja kantoran yang nyaris seharian berkutat di belakang meja. Ia pernah mendaftar di klub kebugaran, dengan niat akan berolahraga usai office hour, tapi kelelahan fisik membuatnya ingin segera pulang dan beristirahat.

Kondisi itu terus terjadi, hingga menjadi pola rutinitas yang berjalan dalam hitungan tahun, dan Helen tanpa sengaja menjadi pelaku sedentari.

Sedentari

Sedentari adalah gaya hidup. Berasal dari Bahasa Latin ‘sedere’ yang artinya duduk. Pengertian lain sedentari yang lebih komprehensif mengutip Wikipedia: gaya hidup yang tidak banyak bergerak; gaya hidup sering duduk atau berbaring sambil berkegiatan seperti membaca, bersosialisasi, menonton televisi, bermain video game, atau menggunakan komputer hampir sepanjang hari.  

Pada masyarakat urban, gaya hidup sedentari salah satunya dibentuk oleh tuntutan kerja. Misalnya, pekerja kantoran yang melewatkan sebagian besar waktunya dengan duduk di belakang meja. Tapi dapat pula seseorang menjadi pelaku sedentari karena didorong rasa senang dan nyaman. Dengan kata lain, ia memiliki pembawaan yang memang cenderung kurang menyukai aktivitas fisik alias malas gerak (mager).

Karyawan malas bekerja.

“Gaya hidup sedentari itu disebabkan karena pekerjaan, tuntutan pekerjaan tepatnya. Misalnya saja orang yang saat ini bekerja di belakang komputer terus, orang yang bekerja di dalam gedung. Bisa juga karena kesenangan, kenyamanan, dia biasa duduk manis,” jelas Direktur Kesehatan Kerja dan Olahraga Kementerian Kesehatan RI, drg. Kartini Rustandi, M. Kes, Kamis, 27 April 2018.

Faktor lain penyebab kian suburnya gaya hidup sedentari, yaitu transisi gaya hidup. Dulu, segala aktivitas memerlukan tenaga fisik manusia. Kini semuanya dipermudah dengan kecanggihan teknologi. Kecanggihan teknologi yang di satu sisi manfaatnya tidak dinafikan, seperti efisiensi tenaga dan waktu, namun tanpa disadari di sisi lain juga menyediakan jebakan yang siapa pun bisa terperosok, jika tidak bijak menyikapi.

“Dulu orang mau nonton bola harus ke stadion, sekarang enggak, cukup buka tv. Artinya kemudahan, terus kesenangan, nonton tv, main game itu membuat orang malas gerak. Apa-apa tinggal instan. Nelpon pakai gadget, makanan nyampe. Itu kenyataan yang ada, dan kemudahan yang terjadi,” ujarnya menambahkan.  

Tak hanya pekerja kantoran, sedentari tanpa sadar juga bisa ‘mewabah’ ke siapa pun, dari berbagai kelas ekonomi dan usia. Bahkan, anak-anak pun telah terjangkit gaya hidup malas bergerak ini. 

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan bahwa 24,1 persen penduduk Indonesia, atau satu dari empat orang, menjalani gaya hidup sedentari lebih dari enam jam.  

Mengutip laman researchgate.net, penelitian di Bantul dan Yogyakarta, yang dilakukan Andi Imam Arundhana dan rekannya menemukan, perilaku sedentari merupakan faktor risiko kejadian obesitas pada siswa di Yogyakarta dan Bantul, yang memberi kontribusi sekitar 10,95 persen dengan besarnya risiko 5,15 kali pada siswa dengan durasi sedentari yang lebih panjang.  

Diungkapkan pula dalam penelitian itu, berdasarkan jenis perilaku sedentari, siswa obes memiliki frekuensi dan durasi untuk jenis aktivitas nonton tv, permainan papan dan kartu, serta duduk yang lebih sering dan lebih lama dibandingkan siswa tidak obes.

Tak hanya di Indonesia, jerat sedentari juga menjadi epidemi global yang dituding sebagai penyebab fundamental pada obesitas dan kelebihan berat badan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengungkapkan: “Secara global telah terjadi peningkatan asupan makanan padat energi yang tinggi lemak; dan peningkatan ketidakaktifan fisik seiring dengan bertambahnya gaya hidup sedentari di berbagai lingkup bentuk pekerjaan, perubahan moda transportasi, dan meningkatnya urbanisasi.”(***)

Sumber : viva



Share on Social Media

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait