News, Politik

Partai Hanura Dikabarkan Mengalami Perpecahan di Tubuh Internalnya

| Selasa 23 Jan 2018 16:07 WIB | 1260




MATAKEPRI.COM - Setelah sempat terjadi drama tarik ulur dukungan partai politik kepada para kandidat, momentum Pilkada 2018 kali ini juga diwarnai dengan munculnya kembali fenomena perpecahan di tubuh partai. Sejak Senin (15/1) lalu, Partai Hanura dikabarkan mengalami perpecahan di tubuh internalnya. Terdapat dua kubu yang saling mengklaim legalitas kepengurusan, yakni kubu Manhattan yang masih mengakui Oesman Sapta Odang (OSO) sebagai Ketua Umum, dan kubu Ambhara yang mendaulat Daryatmo sebagai Ketua Umum atas kepengurusan baru Hanura.

Penyebab konflik yang terjadi disinyalir karena sebagian besar kader merasa kecewa dengan kepemimpinan ketua umum. Selama ini OSO selaku ketua dianggap tidak menjalankan kepemimpinan partai secara demokratis. Manuver politik kemudian terjadi; sebagian besar kader, termasuk Sekjen Hanura membuat rapat tandingan dan menyatakan mosi tidak percaya pada sang ketua. Peristiwa pecat memecat antarfungsionaris partai pun tak bisa dihindari.

Pola konflik dengan munculnya dua kubu dan saling mengklaim legalitas yang sah seperti ini tentu bukan hal yang baru. Sebelumnya, Partai Golkar dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) setelah Pemilu 2014 lalu juga mengalami konflik semacam ini. Perbedaannya, pada saat itu perpecahan di tubuh Golkar dan PPP dibarengi dengan adanya perbedaan dukungan pada dua kaolisi utama, yaitu Koalisi Indonesia Hebat (KIH) yang masuk dalam pemerintahan dan Koalisi Merah Putih (KMP) yang berada di luar pemerintahan. 

Sebenarnya perpecahan atau faksionalisasi di tubuh organisasi merupakan hal yang cukup wajar terjadi. Bahkan bila dikelola dengan baik hal tersebut dapat berdampak positif dalam proses dinamika organisasi. Namun, perpecahan yang terjadi di tubuh Hanura justru menjadi hal yang cukup aneh. Mengingat, Hanura merupakan partai yang memiliki tipologi personalistik. 

Merujuk pada klasifikasi tipologi partai politik Richard Gunther dan Larry Diamond (2001), partai dengan karakter personalistik semacam itu lebih banyak menumpukan citra partai pada pola patronase yang kuat dengan sosok pemimpin yang kharismatik. Demikian yang terjadi pada Partai Hanura. 

Sebagai partai yang lahir pascagelombang Reformasi, Hanura menjadi satu dari beberapa partai baru yang hadir untuk memenuhi cita-cita kekuasaan politik personal. Sejak berdiri pada 2006, partai ini sudah identik dengan sosok Wiranto sebagai tokoh sentralnya yang saat itu juga didapuk untuk maju sebagai calon presiden pada Pemilu 2009. 

Secara umum, partai dengan karakter personalistik memang banyak menitikberatkan legitimasi partai pada sosok figurnya atau sang ketua. Termasuk dalam hal ini mengenai pengambilan keputusan maupun perumusan strategi kebijakan partai. Kuatnya figur juga sekaligus menjadi sebuah jaminan atas tidak hadirnya perpecahan di tubuh partai.

Problem Kepemimpinan

Masalah kemudian muncul ketika tokoh sentral yang dimiliki oleh partai tersebut mulai bergeser. Dengan pola organisasi yang cenderung lemah dan kewenangan yang sejak awal tidak tersebar, maka regenerasi kepemimpinan yang terjadi akan diwarnai dengan gejolak pertikaian. 

Hal inilah yang sedang dialami Partai Hanura. Setelah mundurmya Wiranto sebagai ketua umum partai untuk mengisi jabatan di kabinet Joko widodo, tampuk kepemimpinan Partai Hanura berganti kepada OSO sebagai ketua umum baru. Namun, sebenarnya peran Wiranto tidak sepenuhnya hilang. Jabatan Ketua Dewan Pembina seolah menjadi ruang bagi Wiranto untuk memastikan bahwa kekuasaannya masih ada di Hanura.

Adu kuat dominasi pun terjadi antara figur lama dengan figur baru. Pada konteks Hanura, hal itu dapat dibaca melalui hadirnya suara dari sebagian kader di kubu Ambhara yang meminta Wiranto untuk kembali menjabat sebagai ketua umum. Sebagaimana yang pernah terjadi pada partai Demokrat pada 2015 lalu, SBY yang memilih 'turun gunung' dan menjabat kembali sebagai ketua umum dengan dalih mengantisipasi konflik di Partai Demokrat. Maka, tidak menutup kemungkinan sosok Wiranto akan mengambil langkah yang sama untuk kembali mengambil tampuk kepemimpinan Partai Hanura dengan dalih yang sama dengan SBY ketika itu 

Model kepemimpinan politik yang masih mempertahankan pola hierarkis sentralistik seperti itu tentu menjadi pekerjaan rumah utama bagi partai politik Indonesia yang mesti segera dibenahi. Selain menghalangi proses pelembagaan partai secara demokratis, hal tersebut juga menghambat proses regenerasi dan kaderasi partai politik. Selain Hanura, diprediksi hal yang sama juga akan dialami oleh partai dengan pola personalistik lainya di Indonesia seperti Gerindra dengan figur kuat Prabowo Subianto, dan Demokrat dengan sosok kharismatik SBY.

Pertaruhan Kredibilitas

Sejatinya partai politik merupakan institusi demokrasi yang hadir sebagai kanal perjuangan bagi masyarakat dalam memperjuangkan aspirasinya. Namun, seiring bergulirnya proses demokrasi, reputasi partai politik di mata publik justru terbukti semakin memburuk. Pada hasil survei yang dirilis lembaga Polling Center pada Juli tahun lalu disebutkan, tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik hanya sebesar 35 persen. Angka tersebut sangat rendah bila dibandingkan dengan lembaga negara lainnya seperti KPK, TNI, atau Kejaksaan. 

Konflik yang mendera Partai Hanura kali ini tentu semakin memperburuk citra partai politik di masyarakat. Orientasi kekuasaan yang menjadi tumpuan utama para elite dalam mengambil langkah partai menjadikan mereka abai pada misi utama partai sebagai kanal perjuangan aspirasi rakyat.

Dalam kondisi seperti itu, tak hanya akan berdampak pada stabilitas di tubuh partai, tapi juga pada tingkat keterpilihan publik terhadap partai. Seperti yang pernah dialami oleh Golkar. Setelah badai konflik menerpa partai berlogo beringin pada 2014 lalu, di tahun yang sama LSI merilis hasil surveinya yang menyebut elektabilitas Golkar turun hingga di bawah 10 persen. Bisa jadi hal serupa juga akan dialami Partai Hanura kali ini.

Di tengah persiapan menjelang Pemilu 2019, soliditas dan kredibilitas partai memang menjadi pertaruhan terbesar. Sengkarut pengelolaan partai yang berujung pada konflik internal justru menjadi hal yang bertolak belakang pada upaya konsolidasi partai menjelang tahun pemilihan. Masyarakat sebagai pemilik suara tentu tak tinggal diam; mereka akan menilai sekaligus memilih, mana partai yang pantas untuk dipilih, dan mana yang tidak. (***)



Share on Social Media

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait