News, Hukum & Kriminal

Gugatan Soal LGBT yang Diatur dalam Hukum Pidana Berlangsung Sengit

| Kamis 14 Dec 2017 13:57 WIB | 911




MATAKEPRI.COM, Jakarta - Sidang gugatan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) yang diatur dalam hukum pidana berlangsung sengit. Dalam sidang tersebut, 4 hakim konstitusi setuju LGBT masuk KUHP, sedangkan 5 hakim lainnya tidak.

Para hakim yang setuju adalah Ketua MK Arief Hidayat, hakim konstitusi Anwar Usman, Wahiduddin Adams, dan Aswanto. Sedangkan 5 hakim lainnya, yaitu Maria Farida, I Dewa Gede Palguna, Suhartoyo, Manahan Sitompul, dan Saldi Isra, memilih menolak gugatan tersebut.

Dalam dissenting opinion-nya, Arief berpendapat Pasal 284 KUHP tentang perzinaan bertentangan dengan perkembangan hukum. Arief menyatakan pasal tersebut mempersempit ruang lingkup zina.

"Dalam Pasal 284 KUHP jelas mempersempit ruang lingkup dan bahkan bertentangan dengan konsep persetubuhan terlarang (zina) menurut nilai agama dan living law yang hidup dan berkembang di masyarakat Indonesia yang sejatinya lebih luas," ujar Arief dalam pertimbangannya di gedung MK, Jl Medan Merdeka Barat, Jakarta, Kamis (14/12/2017).

Arief dkk menganggap kepastian hukum dalam Pasal 284 KUHP menjadi tidak adil seiring dengan perkembangan zaman. Menurutnya, perlu aturan yang pasti soal konteks zina dalam perkembangan hukum dan kehidupan saat ini.

"Dari waktu ke waktu semakin dirasakan bahwa eksistensi kepastian hukum yang ada dalam norma Pasal 284 KUHP jelas bersifat tidak adil, baik secara sosiologis-historis maupun dalam konteks kekinian, sebab filosofi dan paradigma yang menjiwai norma Pasal 284 KUHP jelas mempersempit dan bahkan bertentangan dengan konsep "persetubuhan terlarang'," ucapnya.

Terkait Pasal 285 KUHP tentang pemerkosaan, Arief juga menganggap sebaiknya kata 'perempuan' dihapus. Sebab, kasus pemerkosaan yang terjadi kini tak hanya laki-laki dan perempuan, tapi juga bisa sesama jenis kelamin.

"Dengan diakuinya konsepsi perkosaan sebagai pemaksaan persetubuhan yang dapat dilakukan, baik oleh laki-laki maupun perempuan, maka kami berpendapat frasa 'perempuan' dalam Pasal 285 KUHP seharusnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat," ucap Arief.

Sebelumnya, MK menolak mengadili gugatan soal lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT). MK menyatakan perumusan delik LGBT dalam hukum pidana Indonesia masuk wewenang DPR-presiden. 

Dalam pertimbangannya, majelis menganggap kewenangan menambah unsur pidana baru dalam suatu undang-undang bukanlah kewenangan MK, melainkan kewenangan presiden dan DPR.(***)



Share on Social Media

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait