News, Ekonomi
| Senin 20 Nov 2017 14:27 WIB | 1217
MATAKEPRI.COM, Marrakesh - Sedikitnya 15 orang tewas terinjak dan lainnya
luka-luka akibat insiden berebut bantuan makanan di Maroko.
Insiden tersebut terjadi di kota Sidi Boulaalam di
Provinsi Essaouira. Adapun, bantuan pangan tersebut diberikan oleh badan amal
swasta setempat.
Beberapa laporan menunjukkan 40 orang terluka dalam
peristiwa itu. Media lokal menyebut sebagian besar korban adalah perempuan dan
orang lanjut usia.
Dikutip dari BBC pada Senin (20/11/2017), sejumlah
gambar di media sosial menunjukkan tubuh wanita tergeletak di tanah.
Saksi mata mengatakan, distribusi bantuan makanan itu
adalah program tahunan di Sidi Boulaalam. Ini adalah sebuah kota yang miskin
dengan lebih dari 8.000 penduduk.
Biasanya pendistribusian itu berlangsung dengan
tertib. Namun, tahun ini rupanya menarik kerumunan yang lebih besar dari
biasanya.
"Tahun ini ada banyak orang, beberapa ratus
orang," seorang saksi yang meminta kepada kantor berita AFP.
"Orang-orang mendorong, mereka menghancurkan
penghalang," katanya, menambahkan bahwa yang terluka telah dievakuasi ke
sebuah rumah sakit di Marrakesh.
Kementerian Dalam Negeri Maroko mengatakan bahwa Raja
Muhammed VI telah menginstruksikan pihak berwenang setempat untuk membantu
mereka yang terkena dampak, menambahkan bahwa dia secara pribadi akan
menanggung semua biaya medis dan pemakaman.
Video yang tidak bisa diverifikasi memperlihatkan oleh
sejumlah besar manusia telah berkerumum di pasar terbuka menanti distribusi
makanan.
Hingga berita ini diturunkan, tidak jelas apa yang
memicu penyerbuan tersebut.
Gejolak di Maroko Belum Usai
Insiden itu menambah daftar gejolak di Maroko.
Beberapa tahun lalu, ribuan warga di negara itu protes turun ke jalan akibat
kematian seorang nelayan.
Mouhcine Fikri, nama korban, remuk di dalam truk
sampah saat berusaha memungut ikan-ikan dagangannya yang disita polisi.
Kematian Fikri di kota Al-Hoceima pada Jumat 28
Oktober 2016 awalnya memicu kemarahan di sosial media. Nasib tragisnya
mengingatkan pada kematian penjual buah asal Tunisia pada 2010 yang menjadi
salah satu pemicu gelombang demokratisasi di Timur Tengah atau Arab Spring.
Raja Maroko, Mohamed telah memerintahkan para
pejabatnya untuk mengunjungi rumah duka korban.
Sementara, Kementerian Dalam Negeri dan Keadilan juga
berjanji akan melakukan investigasi terkait insiden tersebut.
"Tak ada satu pun yang berhak memperlakukan
korban seperti itu," kata Menteri Dalam Negeri Mohamed Hassad. "Kita
tidak bisa menerima perilaku aparat yang bertindak terburu-buru, marah, dan
dalam kondisi yang tak menghormati hak-hak rakyat."
Sejumlah posting-an bernada kemarahan di media sosial
Maroko menyebut kata 'Hogra' -- istilah yang mewakili pelanggaran dan
ketidakadilan yang dilakukan aparat.
"Saya tak pernah melihat kerumunan orang seperti
itu dalam beberapa tahun, setidaknya pada 2011," kata Houssin Lmrabet,
aktivis di Kota Imzouren di mana protes pecah usai pemakaman Fikri, seperti
dikutip dari BBC.
"Semua orang di sini merasa seakan diremukkan
truk sampah."
Demonstrasi juga digelar di Al-Hoceima, Casablanca,
dan di ibu kota Rabat.
Polisi merampas dan menghancurkan ikan todak
(swordfish) milik korban. Alasannya, saat itu bukan jadwal menjala ikan--
demikian dikabarkan media Maroko.
Video yang menyebar di media sosial menunjukkan, Fikri
melompat ke bagian belakang truk sampah untuk mengambil ikan-ikannya, sebelum
tubuhnya kemudian dihancurkan oleh compactor yang berfungsi memadatkan sampah.
Insiden yang merenggut nyawa Fikri mengingatkan pada
apa yang terjadi di Tunisia.
Pada 17 Desember 2010, seorang tukang sayur berusia 26
tahun, Mohamed Bouazizi nekat membakar diri karena barang dagangannya disita
polisi. Ia mengadu pada aparat hingga gubernur, tetapi tak ada yang menggubris.
Sempat menjalani perawatan di rumah sakit, Bouazizi
meninggal dunia pada 2 Januari 2011.
Bouazizi adalah wajah rakyat Tunisia yang menderita di
negeri yang dilanda krisis pangan, lapangan kerja sulit, dan rakyat hidup dalam
politik yang tak peduli pada kritik. Sementara, kaum elite hidup mewah.
Kisahnya membangkitkan kemarahan rakyat atas penguasa.
Demonstrasi meledak, rakyat turun ke jalan menuntut Ben Ali turun.
Pada 14 Januari 2011, Ben Ali yang tak lagi dipercaya
rakyat itu pun diam-diam kabur ke Arab Saudi bersama keluarganya. Revolusi
kemudian menyebar ke Mesir, Libya, dan negara-negara di Jazirah Arab lainnya. (www.liputan6.com/***)