News, Ekonomi, Hukum & Kriminal
| Kamis 02 Nov 2017 13:24 WIB | 1618
MATAKEPRI.COM, Jakarta - Setelah melalui rapat yang cukup panjang, Pemerintah
Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta akhirnya mengumumkan besaran Upah Minimum
Provinsi (UMP) 2018 di angka Rp 3,64 juta. Angka ini naik 8,7 persen jika
dibandingkan dengan UMP 2017 yang tercatat Rp 3,35 juta.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menjelaskan, penetapan
tersebut sudah memperhitungkan aspirasi dari pengusaha dan juga pekerja.
"Adapun perhitungan UMP 2018 sudah memperhitungkan dua belah pihak. Tidak
sederhana, negosiasi panjang, tapi Wagub (Sandiaga Uno) banyak pengalaman,
sehingga proses lancar," jelas dia di Balai Kota Jakarta, Rabu
(1/11/2017).
UMP DKI Jakarta ini dihitung berdasarkan inflasi nasional
sebesar 3,71 persen dan pertumbuhan ekonomi nasional sebesar 4,99 persen.
Selain itu, kenaikan UMP 2017 ini juga sesuai dengan ketetapan Menteri
Ketenagakerjaan di angka 8,7 persen.
Anies mengatakan kenaikan UMP akan meningkatkan
kesejahteraan buruh, tapi tidak memberatkan pengusaha yang saat ini sedang
menghadapi ekonomi yang lesu. "Akan memudahkan semua pihak, buruh naik UMP
pengusaha tidak terlalu menanggung berat (di tengah) ekonomi yang lesu,"
ujar mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
Dia sedikit memberikan tips kepada buruh atau warga Jakarta
soal menambah pendapatan tidak hanya dari besaran UMP, melainkan mengurangi
biaya pengeluaran atau gaya hidup. "Menurunkan pengeluaran, bukan UMP saja
salah satu instrumen mengurangi biaya hidup," Anies menandaskan.
Buruh pun menolak dengan besaran UMP tersebut. Para buruh
mengusulkan kenaikan UMP 2018 di angka RP 3,91 juta. Sebagai penolakan, buruh
akan menggelar aksi demo turun ke jalan.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said
Iqbal mengatakan, sekitar 20 ribu buruh Jabodetabek akan mengepung Istana
Negara pada 10 November mendatang.
Di luar Jakarta, buruh juga akan melakukan aksi turun ke
jalan. Tercatat, beberapa kota yang siap menggelar aksi menuntut kesejahteraan
dan upah layak adalah Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Sumatera Utara dan
lainnya. Diperkirakan akan ada 100 ribu buruh di seluruh Indonesia akan
menggelar aksi.
Said Iqbal mengatakan, buruh menuntut kenaikan upah minimum
tahun 2018 sebesar US$ 50 atau setara dengan Rp 650 ribu. Selain itu, buruh
menuntut agar Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan
dicabut.
"Kami menuntut upah naik Rp 650 ribu, karena upah murah
saat ini tidak relevan lagi dengan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok.
Akibatnya daya beli menurun yang berimbas pada banyaknya pemutusan hubungan
kerja (PHK) di berbagai sektor," katanya.
Biaya untuk keperluan hidup buruh semakin tinggi. Di
antaranya, untuk membayar kontrakan, listrik, dan kebutuhan perumahan di
Jakarta, buruh harus mengeluarkan Rp 1,3 juta. Untuk transportasi Rp 500 ribu.
Sementara ongkos untuk sekali makan Rp 15 ribu. Jika sehari makan 3 kali, maka
satu bulan Rp 1,35 juta. Secara total, buruh menghabiskan biaya sebesar Rp 3,15
juta per bulan.
"Ini belum untuk memenuhi kebutuhan hidup yang lain
seperti pakaian, pendidikan, dan sebagainya," ujarnya.
Hal ini diperparah dengan daya beli buruh yang semakin
turun. Misalnya akibat kenaikan harga listrik. Jika sebelumnya buruh membayar
listrik sebesar Rp 200 ribu, setelah kenaikan listrik buruh harus membayar Rp
300 ribu.
"Oleh karena itu, kenaikan upah sebesar Rp 650 ribu
dilakukan agar upah pekerja menjadi layak dan daya beli buruh semakin meningkat
yang akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi," kata dia.
Pengusaha juga menolak!!!
Tak hanya buruh, pengusaha pun juga keberatan dengan
kenaikan UMP 2018 sebesar 8,71 persen. Kenaikan upah ini seharusnya ditentukan
secara bipartit antara pengusaha dan pekerja.
Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bidang
Ketenagakerjaan Harijanto mengatakan, kenaikan UMP sebesar 8,71 persen dinilai
terlalu besar. Terlebih saat ini kondisi dunia usaha tengah lesu, seperti yang
terjadi pada bisnis ritel.
"Kita tidak ada pilihan lain saat ini, kita harus
menerima 8,71 persen itu. Beberapa industri berat mungkin, ritel, padat karya
itu berat. Untuk beberapa sektor memang kita harus memikirkan ke depan setiap
sektor, tak bisa digeneralisasi," ujar dia.
Menurut dia, besaran kenaikan UMP ini seharusnya hanya
berdasarkan tingkat inflasi saja. Hal ini berbeda dengan formula kenaikan UMP
dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan yang
menggunakan dua indikator, yaitu inflasi dan pertumbuhan ekonomi.
"‎Upah minimum harusnya naiknya hanya berdasarkan
inflasi saja, selebihnya harusnya misalnya inflasi 3 koma sekian persen, ya
sudah pemerintah menetapkan itu saja selebihnya per sektor. Jadi naiknya ya
sudah 3 persen, tapi sektornya terpuruk malah ada yang rekomendasinya minus 1
persen. Itu upahnya bisa turun," ujar dia.
Bahkan Harijanto mengatakan kenaikan upah tersebut tidak
sejalan dengan kondisi dunia usaha yang tengah lesu. Dengan kenaikan upah yang
terjadi setiap tahun, akan memaksa pengusaha untuk melakukan efisiensi. Salah
satunya dengan memangkas jumlah pekerja.
Dengan kenaikan UMP 2018 yang sebesar 8,71 persen akan
terjadi potensi pengurangan tenaga kerja hingga 20 persen. Sebab, besaran
kenaikan tersebut dinilai terlalu tinggi dan memberatkan pengusaha.
"Paling enggak antara 15 persen-20 persen, pasti
efisiensinya ke tenaga kerja, pasti. Sekarang industri-industri diam-diam sudah
menetapkan pengurangan-pengurangan ini. Ini kan suatu hal yang harus kita
pikirkan bersama," kata dia.
Bagaimana negara lain?
Jika dibandingkan dengan kota-kota besar di negara lain, upah buruh di Jakarta sudah termasuk tinggi. Menengok ke belakang, UMP DKI Jakarta di 2017 yang ditetapkan sebesar Rp 3,35 juta merupakan salah satu yang tertinggi di kawasan ASEAN.
Presentase kenaikan UMP di Jakarta ternyata menduduki
peringkat kedua terbesar dibanding lima kota besar di ASEAN, yakni Bangkok,
Hanoi, Kuala Lumpur dan Manila.
Di antara tahun 2016 dan 2017, kota besar di Asia Tenggara
yang mengalami presentase kenaikan UMP terbesar adalah Kuala Lumpur. Dilansir
dari Malaymailonline, ibu kota Malaysia ini mencatatkan kenaikan upah minimum
sebesar 11 persen dibanding tahun sebelumnya.
Posisi kedua ditempati dengan Indonesia dengan kenaikan
presentase upah 8 persen. Media Vietnam vneconomictimes.com menyebut upah
minimum Hanoi meningkat sebesar 7 persen.
Bangkokpost.com melaporkan kenaikan upah di ibu kota
Thailand ini sebesar 3 persen. Di posisi buncit ada Manila dengan kenaikan
presentase upah sebesar 2 persen.
Penetapan upah di beberapa negara Asia dilakukan dengan
pemerintah yang menetapkan tarif dasar untuk seluruh negara atau setiap
wilayah. Lembaga daerah atau organisasi pihak ketiga nantinya ditunjuk sebagai
pengambil keputusan.
Dilansir dari wageindicator.org, metode seperti ini
didaptasi di Tiongkok dan beberapa daerah di India dan Vietnam. Sementara di
Pakistan dan Indonesia, upah minimum ditentukan oleh pemerintah daerah dengan
meminta rekomendasi dari organisasi pihak ketiga, seperti komunitas buruh.
Ada juga metode penetapan upah lain, yaitu dengan mengatur
besaran gaji menurut sektor atau bidang pekerjaan. Pengambil keputusan dalam
hal ini juga dilakukan pemerintah atau organisasi pihak ketiga.
Cara seperti ini dilakukan oleh beberapa negara seperti Kamboja, Sri Lanka serta beberapa wilayah di India, Pakistan, dan Vietnam.(www.liputan6.com/***)