Usulan Yorrys Cs yang mendapat lampu hijau dari JK itu tidak berbanding lurus dengan sikap pengurus Golkar lain.
Ketua Harian DPP Partai Golkar, Nurdin Halid, menegaskan hingga saat ini belum ada pembicaraan resmi terkait penggantian Setya Novanto dan menunjuk pelaksana tugas (Plt). Menurut Nurdin, dirinya sementara ini yang menggantikan Novanto.
"Kalau sesuai hierarki organisasi ya ketua harian, tapi saya tidak berambisi. Jadi nanti kita lihat," ujar Nurdin di Kantor DPP Partai Golkar Jalan Anggrek Neli Murni, Jakarta Barat, Kamis 28 September 2017.
Dia mengatakan, seharusnya Plt itu ditunjuk langsung oleh Setya Novanto sebagai ketua umum.
"Harusnya yang menunjuk ketua umum. Makanya hasil kajian itu memberi kewenangan kepada ketua umum. Tapi kalau ketua umum tidak menggunakan haknya, kemudian DPP sudah memandang perlu ada Plt, DPP juga bisa mengambil keputusan," jelas Nurdin.
Nurdin mengaku dari internal tidak ada permintaan agar Setya Novanto mundur dari jabatannya. Namun, dia mengakui ada permintaan penunjukan Plt.
"Yang minta mundur itu dari luar, Pak JK (Jusuf Kalla), Akbar Tandjung. Dari dalam itu minta nonaktif dan supaya ada Plt," ujar Nurdin.
Alasannya, kata Nurdin, agar Novanto dapat fokus dengan masalah hukum yang kini sedang menderanya.
"Enggak ada yang minta mundur, dari internal itu minta supaya nonaktif. Agar konsentrasi mengurus masalah hukum dan kesehatan. Supaya partai ini pedomannya bisa berjalan dengan baik," ucapnya.
"Beliau (Novanto) juga secara faktual dan fisik tidak bisa mengurus secara harian. Maksudnya baik, agar Beliau bisa konsentrasi, ada Plt. Itu masih kajian," ujar dia.
Ketua DPP Partai Golkar, Ali Wongso Sinaga, membantah ada keputusan rapat harian yang mendesak penggantian ketua umum. Menurut Ali, wacana Setnov mundur hanya hasil dari tim kajian elektabilitas.
"Jadi tidak benar itu keputusan rapat harian, tapi itu kajian daripada tim," ujar Ali di Kantor DPP Partai Golkar, Slipi, Jakarta Barat, Kamis (28/9/2017).
Pelaksana Tugas (Plt) Sentral Organisasi Karyawan Swadiri Indonesia (SOKSI) itu menegaskan, yang terpenting Golkar mengerjakan program-program yang bisa kembali mengerek naik elektabilitas.
"Perlu segera program aksi yang bisa menggerakkan konsolidasi, organisasi kader, dan keanggotaan di tingkat basis. Apakah itu di tingkat kelurahan atau kecamatan, selain aktualisasi peran seluruh kader," kata dia.
Dengan begitu, lanjut Ali, tidak hanya mampu menaikkan elektabilitas Golkar, tetapi juga mendorong percepatan pembangunan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan.
Ali juga menyebutkan hingga kini tidak ada kewajiban mencari Plt ketua umum untuk menggantikan Setya Novanto. Terlebih itu bukan keputusan rapat harian.
Elektabilitas Melorot
Penetapan Ketua Umum Golkar Setya Novanto sebagai tersangka kasus E-KTP oleh KPK sejak 17 Juli 2017 lalu memang diyakini berpengaruh pada elektabilitas partai Beringin ini.
Survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) yang dirilis 12 September lalu menyebut, elektabilitas Golkar pada 2017 melorot dibanding tahun lalu. Jika di 2016 elektabilitas Golkar ada di angka 14,1 persen, pada 2017, elektabiitas Golkar berada di angka 10,9 persen atau turun 3,2 persen.
Dari hasil survei tersebut, elektabilitas Golkar berada di urutan ketiga di bawah PDIP (35,1 persen) dan Partai Gerindra (14,2 persen).
Survei sendiri dilakukan CSIS dengan melibatkan 1000 responden di 34 propinsi dengan masa pengumpulan data pada 23-30 Agustus 2017.
Peneliti CSIS, Arya Fernandes, menyatakan penetapan Setnov sebagai tersangka menjadi salah satu penyebab turunnya elektabilitas Golkar tahun ini. "Golkar dilanda sejumlah masalah internal setahun terakhir ini, dan itu tidak mudah," ujar Arya saat dihubungi Liputan6.com, Kamis 28 September 2017) malam.
Selain faktor Setnov tersangka, hal lain yang membuat turun adalah konsolidasi partai yang belum sepenuhnya berhasil usai perpecahan. "Selain itu juga karena Golkar belum mampu menggaet basis massa baru," ucap dia.
Direktur Eksekutif Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), Djayadi Hanan, menyatakan penetapan Setnov sebagai tersangka kaus E-KTP menjadi penyebab utama melorotnya elektabilitas Golkar.
Terlebih kasus yang menjerat Setnov adalah kasus besar yang melibatkan banyak kalangan dan nilainya fantastis. Isu keterlibatan Setnov di kasus E-KTP jauh hari telah berembus sebelum dia ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017.
"Wajarlah kalau kemudian ada sejumlah kader partai Golkar yang minta Setnov turun dari jabatan," kata Djayadi saat dihubungi Liputan6.com, Kamis 28 September 2017 malam.
Kasus Setnov, kata dia, selamanya akan menyandera Golkar jika Setnov masih menjabat sebagai ketua umum.
"Sekarang pilihan ada di petinggi Golkar, mau sampai kapan mereka bertahan dengan situasi seperti ini. Jika terus begini, bukan tidak mungkin elektabilitas golkar akan terus turun," kata Djayadi.
DPP Partai Golkar sejatinya tak tinggal diam. Mereka berencana menggelar rapat pleno dengan salah satu agenda membahas hasil tim kajian elektabilitas yang dipimpin Yorrys Raweyai.
Kajian tersebut menghasilkan permintaan agar Setnov diganti dan ditunjuk Plt ketua umum yang telah berstatus tersangka dan sedang sakit.
Nurdin Halid menyatakan, sedianya pleno digelar Kamis, 28 September 2017. Namun, akhirnya sidang ditunda sehari. Dia membantah penundaan karena menunggu hasil praperadilan Novanto pada Jumat, 29 September 2017.
"Enggak ada hubungannya (dengan praperadilan Novanto), rapat jalan terus. Ini karena Sekjen punya pertimbangan untuk ditunda besok," ujar Nurdin di Jakarta.
Ia mengaku sudah bertemu Sekjen Partai Golkar Idrus Marham terkait rencana penundaan ini.
Ketika ditanyakan apa saja yang dibicarakan dengan Sekjen, Nurdin enggan menjawab. "Sudah. Nanti malam atau besok pagi (ketemu Sekjen lagi)," jelas Nurdin.
Yorrys Raweyai juga membenarkan rapat pleno Kamis ditunda.
"Tadi Nurdin (Nurdin Halid) sudah tanda tangan untuk besok (Jumat, red) malam, pukul 19.00 WIB, pleno tapi belum ditandatangani Sekjen, karena masih fisioterapi," tutur Yorrys.(liputan6/***)