News, Kesehatan

Kepergian Deborah di Sebabkan Oleh Pelayanan Rumah Sakit yang Salah

| Senin 11 Sep 2017 10:52 WIB | 2011




MATAKEPRI.COM, Jakarta - Tangis dan haru begitu dirasakan oleh Henny Silalahi yang baru saja ditinggal pergi buah hatinya tercinta, Deborah Simanjorang, yang baru berusia empat bulan. 

Kepergian Deborah menimbulkan rasa kecewa dalam hati Henny terhadap pelayanan salah satu rumah sakit di kawasan Jakarta Barat.  Henny merasa, apa yang dilakukan rumah sakit itulah yang membuat nyawa putrinya melayang. 

Sudah empat hari Deborah meninggal dunia. Henny masih berusaha ikhlas melepas kepergian anak nomor empat yang amat ia cintai itu. Namun, di sisi lain, ia masih sakit hati mengingat peristiwa 3 September 2017 dini hari.

Sekitar pukul 03.00 WIB, dia bersama sang suami membawa Deborah yang mendadak sesak napas. Yang di pikirkannya saat itu sang anak harus segera mendapat pertolongan, tanpa tahu apakah rumah sakit itu menerima pelayanan BPJS Kesehatan atau tidak.

"Sampai di rumah sakit Mitra Keluarga. Karena ini keadaan yang emergency, anak saya dimasukkan ke UGD dan langsung ditangani dokter. Dokter kemudian mengatakan, anak saya harus dimasukkan ke ruang PICU (Perinatology Intensive Care Unit)," kata Henny kepada Health-Liputan6.com via sambungan telepon, Kamis, 7 September 2017.

Henny ikut saja, dan menyerahkan sepenuhnya penanganan anaknya ke pihak rumah sakit. Bagi Henny, dokter lebih tahu dan lebih mengerti tindakan terbaik untuk sang anak.

Akan tetapi, Henny tersadar, biaya pelayanan PICU tidak murah. Satu malam saja, cukup menguras kantong. 

"Bagian administrasi bilang, untuk bisa masuk ke PICU harus DP Rp 19 juta dulu. Minimal 50 persen dulu, kira-kira Rp 11 juta," kata Henny.

Tak ada uang tunai sebanyak itu yang Henny dan suami pegang hari itu. Hanya ada uang Rp 7 juta, yang mana sudah terpakai Rp 2 juta untuk biaya administrasi, ambil darah, dan rentetan prosedur lainnya. Sisa uang Henny tinggal Rp 5 juta. 

Henny berusaha agar bagian administrasi mau menerima uang sebesar itu sebagai jaminan. Upaya dia sia-sia, lantaran ditolak. Pihak administrasi mau Henny menyetorkan uang seperti yang disebutkan di awal agar Deborah segera dimasukkan ke PICU.

"Saya sudah bersimpuh, dan berjanji akan mengasih kekurangan itu. Mereka tetap bilang enggak bisa. Saya bilang ke mereka, saya pasti bayar. Saya bekerja, kok, tidak mungkin tidak dibayar," kata Henny. 

Kali ini suara Henny berubah. Ia tak kuasa membendung sisa-sisa air mata yang sudah terbuang selama beberapa hari ini.

Sementara, sang suami pulang ke rumah mencari sisa-sisa uang agar terkumpul nominal yang bisa membawa Deborah masuk ke ruang PICU. 

Henny pun terus meyakinkan pihak rumah sakit. Namun, permintaannya tetap ditolak.

"Saya kemudian menghubungi beberapa teman, meminta tolong mereka mencarikan rumah sakit yang ada ruang PICU dan menerima pasien BPJS Kesehatan," kata Henny.

"Dapat, tapi pihak rumah sakit itu harus tahu kondisi anak saya sebelum dipindahkan," kata Henny menambahkan.

Namun, apa daya Henny yang tak kuasa menahan tangis melihat tubuh Deborah yang sudah terbujur kaku. Belum sempat mendapat perawatan yang memadai, nyawa bocah perempuan berumur empat bulan itu sudah melayang.

"Saya sedih. Saya mengangkat jenazah anak sendiri, sedangkan respons dokter hanya seperti itu. Ia cuma bilang turut berbelasungkawa, kemudian kembali duduk ke meja kerjanya," kata Henny lagi.

Tak sempat Terima Perawatan

Henny menyadari bahwa saat itu memang sudah takdir sang anak untuk hidup di dunia ini sebentar saja. Akan tetapi, Henny lebih ikhlas menerima kepergian Deborah andai hari itu sang anak mendapat pertolongan dan perawatan secepatnya yang memadai.

"Setidaknya, kalau anak saya meninggal setelah dimasukkan ke ruang PICU, saya agak lebih ikhlas dan bisa dengan lega mengatakan itu takdir. Tapi ini tidak. Anak saya meninggal masih di ruang UGD, lantaran pihak rumah sakit tidak mau menerima uang jaminan dari kami," kata Henny lagi.

Sesal Henny kian bertambah manakala pihak rumah sakit menawarkan ambulans untuk mengantar jenazah sang putri, dan menyebut itu adalah peraturan dari rumah sakit. 

"Giliran yang seperti itu mereka ingat bahwa itu peraturan. Mungkin ada uangnya, karena saya juga harus bayar itu," kata Henny.

Dia pun menolak. Ia lebih memilih memeluk erat jasad putri tercinta. Jasad bayinya itu hanya ia bawa ke rumahnya menggunakan sepeda motor.

Tak banyak yang ingin Henny harapkan dari pihak rumah sakit. Toh, nyawa sang anak tak bisa balik lagi. Ia hanya menginginkan kejadian serupa tidak menimpa Deborah-Deborah yang lain.

Cerita Henny ini pertama kali beredar dari akun Facebok Sanji Ono yang kemudian menjadi viral. Henny bahkan mengaku siap jika ternyata pihak rumah sakit melaporkan "curahan hati" dia karena dianggap mencemarkan nama baik.

"Saya hanya menceritakan yang sebenarnya terjadi. Saya hanya berharap, tidak ada lagi korban karena masalah-masalah seperti ini," ujar Henny.***



Share on Social Media

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait