Natuna

Jeritan Nelayan Natuna Gegara Larangan Ekspor Ikan Napoleon Belum Reda

| Senin 15 May 2017 10:10 WIB | 7294

Aset Daerah


Ikan Napoleon tergolong sebagai hewan yang dilindungi di dunia.


MATAKEPRI.COM, Natuna - Camat Bunguran Barat, Natuna, mengeluh. Masyarakat yang tinggal di Sedanau, hampir patah arang, mencari solusi atas dilarangnya ekspor ikan napoleon.

“Ibaratnya, dulu kami bisa menyekolahkan anak kami ke Jawa, sementara orang Jawa belum tentu mampu kemari,” tutur Camat Bunguran Barat, Ferizaldy.

Bisnis.com awal Mei lalu berkesempatan menyambangi Pulau Sedanau, Pulau Tiga dan melihat bagaimana keramba-keramba tersusun rapi.

Di Pulau Tiga, Hanafi, pria paruh baya, setidaknya memiliki 2 keramba di depan rumahnya. Terlihat, keramba pertama terisi kerapu tiger (Epinephelus fuscoguttatus) dan satunya berisi napoleon (Chielinus undulatus) atau juga dikenal Humphead wrasse.

"Kemarin waktu Bu Susi [Menteri KKP] kemari, saya dengarkan betul, tak ada niat untuk melawan pemerintah. Akan tetapi sekarang, keramba-keramba kami siap panen, ini harus bagaimana," katanya.

Penduduk di Sedanau lebih banyak lagi yang membudidaya napoleon. Menurut Syahbandar Sedanau, Liber Putahayan, di sekitar pulau yang hampir 70% penduduknya tinggal di atas air (terapung) ini, ada diribuan keramba untuk membudidaya ikan ikan yang tergolong mahal, seperti napoleon dan kerapu.

“Di sini tidak langka, melimpah. Buktinya keramba-keramba terisi ikan siap panen,” katanya di sebuah rumah kopi di Pelabuhan Sedanau.

Napoleon yang merupakan ikan terbesar dari kelompok Labridae, dapat mencapai ukuran 2  meter dengan berat 190 (seratus sembilan puluh) kilogram, menjadi primadona nelayan Natuna. Bagaimana tidak, merujuk situs WWF, harga mentahnya di China mencapai US$250 – US$300 per kilogram.

Cerita tinggal cerita, sekarang bukan barang mudah menjual ikan yang sekarang banyak hidup di perairan Anambas maupun Natuna ini. Terakhir hadirnya Keputusan Menteri Kelautan Perikanan No 37/2013 tentang Penetapan Status Perlindungan Ikan Napoleon diterbitkan.

Berasarkan The IUCN Red List of Threatened Species, Perlindungan penting mengingat spesies ini terancam punah, didasrkan pada pengurangan populasi sebesar 50% setidaknya dalam tiga dekade terakhir. Penurunan tersebut akan berlanjut karena potensi pertumbuhan ekspor ikan hidup terbuka.

Liber menceritakan sebenarnya kelanjutan perikanan Sedanau masih baik, karena setiap bulannya kapal Hong Kong bersandar untuk mengangkut ikan dari perairan Natuna. Sedanau menjadi pusat perdagangan perikanan, setidaknya, bagi nelayan yang ada di Ranai, Pulau Laut dan sekitarnya.

“Dulu memang mengangkut kerapu dan napoleon, sekarang ya andalannya adalah kerapu,”.

Dengan semangat menyuarakan kegelisahan warganya, Camat Bunguran Barat mengharapkan adanya peningkatan kuota penjualan dari budidaya masyarakatnya. Menurutnya, dengan kuota sebelumnya (3.000 ekor) tidak dapat menampung seluruh hasil budidaya masyarakat.

“Pak Dirjen Perikanan Tangkap sudah dua kali kemari, memang selain sosialisasi juga mencari solusi. Akan tetapi, tidak ada perubahan bagi kami,” katanya.

Natuna itu strategis, memastikan kemakmuran penduduk Mutiara Utara Indonesia, menjadi keniscayaan. Sementara memastikan perairan nusantara menjadi rumah bagi spesies langka ini, juga bukan hal yang bisa ditawar. (*)



Share on Social Media