Batam

Wacana Pemekaran Batam Dipredeksi Bakal Melemahkan Kepri

| Selasa 02 May 2017 21:55 WIB | 3070



ilustrasi


MATAKEPRI.COM - Rencana pemekaran Kota Batam menjadi provinsi baru, dipandang tidak efisien karena akan memperburuk kondisi Kepulauan Riau, kata anggota Fraksi Keadilan Sejahtera, Ing Iskandarsyah.

"(Provinsi) yang ada sebaiknya diperkuat dengan sistem yang baik, dan aparatur pemerintahan yang dapat bekerja secara profesional. Rencana pemekaran Batam menjadi provinsi baru justru akan membuat Kepri lemah," kata Iskandarsyah, yang juga Ketua Komisi II DPRD Kepri, di Tanjungpinang, Selasa sebagaimana dilansir Antara.

Selain itu, kata dia, memisahkan Batam dari Kepri sama saja menghilangkan keistimewaan yang dimiliki provinsi itu, salah satunya akar sejarah masa lalu yakni wilayah kekuasaan Kesultanan Melayu Riau-Lingga dan daerah kepulauan.

Iskandar juga berpendapat Kepri sebagai provinsi yang unik sehingga harus dibangun dengan cara yang berbeda. 

Posisi Kepri yang strategis, memiliki 1.796 pulau dan 22 pulau yang berbatasan dengan negara tetangga.

Batam, yang memiliki tiga pulau yang berbatasan dengan negara tetangga sebagai salah satu kota yang menjadi pusat pertumbuhan perekonomian di Indonnesia. 

Jika Batam yang dikenal sebagai kota industri itu menjadi provinsi baru, Kepri akan kehilangan sebagian "kekuatan"-nya.

Sebaiknya, yang dilakukan sekarang, memperkuat sumber daya manusia, sinergitas antardaerah dan dengan pusat sehingga potensi yang dimiliki Batam maupun daerah lainnya di Kepri dapat dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat.

"Dari keunikan dan keistimewaan Kepri, saya lebih tertarik untuk menggulirkan otonomi khusus ekonomi di wilayah ini sehingga yang diatur bukan saja Batam. Otonomi khusus ini tentu harus sesuai dengan cita-cita bangsa, tujuan bernegara dan semakin memperkokoh nilai-nilai keindonesiaan," ujarnya.

Iskandarsyah juga mengutip keinginan pemerintah pusat untuk membangun Indonesia dari desa atau pinggiran. Di Kepri, keinginan itu seharusnya diimplementasikan dengan program membangun dari pesisir.

Program itu tepat mengingat banyak warga pesisir yang tergolong miskin, padahal 96 persen wilayah Kepri terdiri dari perairan.

"Ini kondisi yang kontradiktif. Seharusnya, nelayan itu kaya, bukan seperti sekarang, mereka masih kesulitan ekonomi. Artinya, ada yang salah dalam pengelolaan potensi kelautan di Kepri yang melibatkan nelayan sehingga kondisi itu harus diperbaiki oleh pemerintah dengan membuat regulasi, sistem yang kuat dan kebijakan yang tepat sasaran," ucapnya.

Iskandarsyah juga mengingatkan dalam berbagai kajian ilmiah terkait pemekaran wilayah, ditemukan berbagai permasalahan. Dari kajian lembaga pemerintahan maupun sejumlah kampus, kondisi daerah otomoni baru tidak lebih baik pada saat sebelum dimekarkan.    

Padahal semangat otonomi daerah tercermin antara lain pada keinginan sebagian daerah untuk memekarkan diri dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. 

Dikutip dari beberapa kajian (tahun 2005) tentang berbagai persoalan dalam pemekaran daerah pernah dilakukan antara lain oleh Bappenas, Lembaga Administrasi Negara, dan Departemen Dalam Negeri. 

Sistem evaluasi oleh Building and Reniventing Decentralised Governance untuk mengetahui perkembangan pemekaran daerah dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan, serta dampaknya terhadap kesejahteraan masyarakat.

Selain itu, lanjutnya sistem itu untuk mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi dalam masa pemekaran daerah, khususnya dalam aspek ekonomi, keuangan pemerintah, pelayanan publik dan aparatur pemerintahan, serta merumuskan rekomendasi kebijakan berkaitan dengan pemekaran daerah.

"Hasil penelitian, ternyata secara umum daerah otonom baru tidak berada dalam kondisi awal yang lebih baik dibandingkan daerah induk atau daerah kontrol. Bahkan evaluasi setelah lima tahun perjalanannya, daerah otonom baru secara umum masih tertinggal," ujarnya.

Ia menambahkan dari aspek kinerja perekonomian daerah ditemukan dua masalah utama yang dapat diidentifikasi yaitu pembagian potensi ekonomi yang tidak merata, dan beban penduduk miskin yang lebih tinggi.

Pada aspek keuangan, daerah baru yang terbentuk melalui kebijakan pemerintahan daerah menunjukkan kinerja yang relatif kurang optimal dibandingkan daerah kontrol.

Dalam kajian itu juga ditemukan beberapa permasalahan dalam pengelolaan keuangan daerah yaitu ketergantungan fiskal yang lebih besar di daerah pemekaran berhubungan dengan besarnya alokasi belanja modal di daerah pemekaran, optimalisasi pendapatan dan kontribusi ekonomi yang rendah, dan porsi alokasi belanja modal dari pemerintah daerah yang rendah.

Terkait aspek kinerja pelayanan publik diidentifikasi bahwa pelayanan publik di daerah pemekaran belum berjalan optimal, disebabkan oleh beberapa permasalahan, antara lain tidak efektifnya penggunaan dana, tidak tersedianya tenaga layanan publik, dan belum optimalnya pemanfaatan pelayanan publik.

Dari aspek kinerja aparatur pemerintah daerah diidentifikasi beberapa permasalahan, yaitu ketidaksesuaian antara aparatur yang dibutuhkan dengan yang tersedia, kualitas aparatur yang umumnya rendah, dan aparatur daerah bekerja dalam kondisi underemployment.

"Dari sisi pertumbuhan ekonomi hasil studi menunjukkan bahwa daerah otonom baru lebih fluktuatif dibandingkan daerah induk yang relatif stabil dan meningkat. Dari sisi pengentasan kemiskinan, peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah DOB belum dapat mengejar ketertinggalan daerah induk meskipun kesejahteraan daerah otonom baru telah relatif sama dengan daerah-daerah kabupaten lainnya," katanya. (*)




Share on Social Media