News

Ikatan Kebangsaan Harus Menjadi Dasar Pembangunan SDM Indonesia

| Selasa 25 Apr 2017 11:58 WIB | 1684



tim ahli ekonomi, sistem ekonomi Indonesia Raya Incorporated (IRI), DR D Wahyu Ariani SE, MT


MATAKEPRI.COM, Bandung - Ikatan dan wawasan kebangsaan harus menjadi dasar etos kerja SDM di seluruh Indonesia. Tanpa ikatan dan wawasan kebangsaan, SDM di seluruh Indonesia hanya akan menjadi alat politik dan kepentingan para pengusaha.

Dengan ikatan kebangsaan, sekat-sekat yang telah terbangun karena kepentingan politik diharapkan terhapus. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia harus menjadi jiwa pembangunan SDM Indonesia.

Demikian ditegaskan tim ahli ekonomi, sistem ekonomi Indonesia Raya Incorporated (IRI), DR D Wahyu Ariani SE, MT ketika menyikapi munculnya gejala perubahan seperti yang terlihat dalam proses PILKADA DKI Jakarta terkait dengan pembangunan SDM Indonesia yang berkualitas, Selasa (25/4/2017).

“Kita prihatin ketika mendengar bahwa Freeport merumahkan para pekerjanya ketika negosiasi antara Freeport Indonesia dan pemerintah menemui jalan buntu. Padahal kalau mau ditelusuri lebih dalam, justru para pekerja Indonesialah yang menjadi tulang punggung operasional tambang emas terbesar di dunia tersebut. Jadi mengapa harus takut?,” ujar Wahyu Ariani dalam rilis yang diterima Matakepri.com.


Menurut dosen Universitas Kristen Maranatha Bandung ini, para pekerja Indonesia di perusahaan asing tidak perlu ragu dalam bekerja karena merekalah yang sebenarnya menjadi tulang punggung beroperasinya perusahaan di Indonesia. 

Dengan berbasis pada ikatan kebangsaan (nasionalisme), pekerja di perusahaan asing sebenarnya tidak perlu khawatir akan masa depannya. Ibaratnya, meskipun ganti pemilik, pekerja tidak akan tergantikan.

Hanya saja, demikian dijelaskannya lebih lanjut, pembangunan SDM berbasis pada ikatan kebangsaan, pada saat ini juga dibutuhkan tidak hanya urusan nasionalisme (asing vs nasional), tetapi juga  terkait dengan urusan politik dan urusan kepentingan para pemilik usaha sekalipun semuanya adalah pengusaha nasional.

“Akan menjadi kehancuran ekonomi Indonesia, jika kemudian urusan SDM tercampur dengan kepentingan politik-ekonomi pemilik dan bahkan terkait dengan urusan kepercayaan. Belum lagi jika ternyata di sebuah perusahaan terjadi perpecahan pekerja hanya karena urusan kepercayaan atau perbedaan pilihan politik. Pilkada DKI Jakarta menjelaskan tentang hal ini,” tegas Wahyu Ariani.

Wahyu Ariani mengajak bangsa Indonesia untuk melihat  ketika ekonomi terbagi berdasarkan kepentingan agama atau politik, maka yang akan dihadapi oleh Indonesia adalah kehancuran. 

Sebagai contoh, jika balai latihan kerja (BLK) ternyata dikuasai oleh kepercayaan atau suku tertentu, atau departemen dikuasai partai politik tertentu,  Indonesia dengan sendirinya akan terpecah-pecah.

“Pilkada DKI Jakarta menjelaskan adanya perubahan mendasar yang telah terjadi pada pembangunan SDM ini. Terlambat dalam mengantisipasi perubahan ini, pada akhirnya pemerintah dan pelaku ekonomi akan berhadapan pada kenyataan kehancuran ekonomi Indonesia.  Rekruitmen pada akhirnya didasarkan pada pilihan politik dan kepercayaan yang dianut seorang pekerja. Selama ini saja kita semua sudah kesulitan dalam mencapai standar untuk sebuah kompentensi, masa depan Indonesia semakin menjadi tidak jelas karena disorientasi terkait kepercayaan dan pilihan politik dalam pekerjaan,” tegasnya.

Oleh Wahyu Ariani ditegaskan bahwa, ikatan dan wawasan kebangsaan harus menjadi dasar terbangunnya etos atau motivasi dalam bekerja. SDM Indonesia terbangun dengan pola extrinsic motivation (orientasi pada tujuan) sejak usia sekolah dan bukan intrinsic motivation (orientasi pada proses), yang membangun motivasi untuk meningkatkan kompetensinya. Pendidikan Indonesia masih menekankan pada extrinsic motivation.

“Mencintai negara, bangsa dan tempat bekerja berdasarkan pada nilai-nilai Pancasila sebagai motivasi dasar dalam membangun kompetensi harus ditanamkan sejak dini. Dan ini bagian dalam instrinsic motivation yang selama ini tidak ada dalam dunia pendidikan.   Ini yang akan membangun kualitas SDM yang berwawasan kebangsaan yang akan menghindarkan konflik horisontal SDM berdasarkan pilihan politik atau perbedaan kepercayaan,” ujar Wahyu Ariani.

Permasalahan di Freeport, sebagai contoh, menurut penulis buku “Perilaku Kewargaan Organisasional: Tinjauan Teoritis dan Empiris” ini, harusnya tidak menjadi suatu ancaman ketika ikatan kebangsaan merupakan motivasi kuat dalam bekerja. Pemerintah dan pemilik usaha harus memulai untuk membangun kualitas SDM dengan ikatan dan wawasan kebangsaan yang kuat.  

Oleh Wahyu Ariani, yang dimaksud dengan pemerintah adalah tidak hanya pemerintah  pusat tetapi juga pemerintah daerah. Antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah harus ada kesamaan visi dalam membangun SDM berdasarkan ikatan kebangsaan dan bukan kedaerahan.

Sistem ekonomi IRI diusulkan oleh AM Putut Prabantoro, Ketua Pelaksana Gerakan Ekayastra Unmada (Semangat Satu Bangsa) dan didukung penuh oleh Persatuan Purnawirawan Angkatan Darat (PPAD). 

Konsep IRI ini oleh Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) diyakini dapat dilaksanakan dan karena sesuai dengan arahan akan segera dibawa kepada pemerintahan Joko Widodo.

Ada empat belas akademisi yang tergabung dalam tim ahli IRI. Selain Wahyu Ariani, tim ahli ekonomi IRI adalah Sari Wahyuni MSc Ph.D (Universitas Indonesia), DR Bernaulus Saragih MSc (Universitas Mulawarman), DR Agus Trihatmoko MBA, MM (Universitas Surakarta), Prof DR H Werry Darta Taifur MA (Universitas Andalas), Prof Mudrajad Kuncoro PhD (Universitas Gadjah Mada), Prof DR B Isyandi MS (Universitas Riau), Prof DR Ir Darsono MSi (Universitas Sebelas Maret), Prof DR Djoko Mursinto MEc (Universitas Airlangga), Prof Dr Tulus Tambunan (Universitas Trisakti), Prof DR Munawar Ismail DEA (Universitas Brawijaya), Dr Syamsudin (Universitas Muhammadiyah Surakarta), DR Y Sri Susilo MSi (Universitas Atma Jaya Yogyakarta) dan Winata Wira SE MEc (Universitas Maritim Raja Ali Haji, Kepri).(*)

 



Share on Social Media