Batam

Kala "Kebebasan" Berseluncur di Dunia Maya jadi "Boomerang"

| Jumat 24 Mar 2017 01:10 WIB | 3610

Pojok Opini




Media sosial terbukti membawa efek positif kepada masyarakat, namun ada juga sisi gelapnya yang bisa meledak kapan saja layaknya 'bom waktu'.


* Bijak dalam Bermedia Sosial Jadi Kunci

Pada era teknologi seperti sekarang ini, komunikasi antar satu orang dengan lainnya semakin mudah dilakukan. Dengan memanfaatkan media sosial, maka hambatan komunikasi seperti jarak dan waktu sudah tidak perlu dikhawatirkan.

Media sosial terbukti membawa efek positif kepada masyarakat, namun ada juga sisi gelapnya yang bisa meledak kapan saja layaknya 'bom waktu'.

Terkadang, silap ataupun disengaja dalam menyikapi sesuatu bisa mengantarkan Netizen ke dalam permasalahan hukum. Dan tentunya dengan ancaman hukuman beberapa Tahun penjara tentunya.

Seperti yang dialami oleh SA,warga Batam ini yang dituduhkan melanggar Undang-undang Informasi Transaksi Eletronik (UU ITE), pasca-melakukan postingan di media sosial terkait kekalahan Tim Nasional saat melawan Tim Thailand beberapa waktu lalu.

"Makannya jangan sok sholat kau di Thailand ja kalah lu. Kalau gak sholat pasti kau menang. Gara gara itu tuh," tulis SA dalam group media sosial "Wajah Batam".

Postingan itu pun langsung menuai komentar dari para netizen yang tergabung dalam grup tersebut.

Kapolresta Barelang, Komisaris Besar Helmy Santika, mengatakan, SA diamankan dikarenakan status yang ia posting dalam sebuah group Facebook bernama Wajah Batam.

"Dalam group tersebut juga dihuni ribuan akun milik masyarakat Batam, dan perkataAnnya membuat umat muslim tersinggung," ungkap Helmy, Minggu (18/12/2016) lalu.


Setelah dilakukan pemeriksaan secara intensify, akhirnya polisi menetapkan SA sebagai tersangka, karena telah terbukti melanggar UU ITE pasal 28 yang menyebutkan; setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian /permusuhan individu dan/atau kelompok tertentu berdasarkan Suku, Agama, Ras dan Antargolongan.

Saat Itu,  SA pun mengungkapkan minta maaf atas apa yang sudah lakukannya. Meski demikian, proses hukum tetap dilakukan.

Hal yang sama juga dialami oleh Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Provinsi Kepri Maruf Maulana yang dijerat dengan UU ITE.

Namun apa yang dialami oleh Ketua Kadin Kepri ini bukanlah penistaan Agama, melainkan sebuah foto meme berisikan 'pengalihan isu bom' yang diposting di group WhatsApp yang kebetulan Kapolda Kepri Irjen Pol Sam Budigusdian adalah anggota bagian grup itu juga.

Dalam foto meme itu, ada kaitannya dengan bom panci pada Sabtu, 10 Desember 2016 lalu di Bekasi.

"Tadi saya marah di grup (WhatsApp), mungkin gurau Maruf Maulana pengalihan isu dengan bom termos. Dia (Maruf) tidak sepatutnya memposting itu. Dia tidak menghargai kinerja polisi," kata Kapolda Kepri  dengan nada kesal kepada sejumlah wartawan.

Sebelumnya, pada rapat Selasa (13/12/2016) pagi yang dipimpin olehnya bersama beberapa personel Detasemen Khusus (Densus) 88 pihaknya menyampaikan hal itu. Dan hasilnya, Densus marah dan kesal kepada Maruf Maulana.

"Kebetukan tadi rapat bersama teman-teman Densus 88, saya sampaikan. Dan semua marah. Dan mereka (Densus 88) share seluruh Indonesia. Silahkan mau minta maaf seluruh Indonesia. Saya selaku Kapolda penjaga keamanan di Kepri merasa tersinggung," tandas Sam kala itu.

Bahkan untuk menuntaskan Kasus ini, kepolisian mendatangkan ahli bahasa guna menilai tulisan pada postingan itu apakah dapat berpotensi memicu keresahan dan dorongan naluri seseorang melakukannya.

"Iya, ahli bahasa telah didatangkan kok. Nanti pasti kami kabari selanjutnya. Yang pasti berlanjut," katanya.


Ketika disinggung, apakah terperiksa Maruf Maulana ini berpotensi menjadi tersangka dalam dugaan tindak pidana Undang-undang ITE ini? Sam tak gegabah dan terburu-buru menjawab itu.

Lantaran, ia memilih lebih profesional menyelidik kasus dari pada mendahului fakta-fakta hukum yang membelit postingan tersebut. "Nanti kami lihat ya. Lebih profesional saja, intinya begitu," tambahnya.

Dalam kesempatan tersebut, Makruf juga mengucapkan permohonan maafnya kepada pihak kepolisian. Menurutnya, semua itu adalah kilaf.

"Kami selaku ketua kadin meminta maaf atas permasalahan ini. Kami mengaku kilaf dan kami juga mengapresiasi kinerja pihak kepolisian," terangnya.

Selain dua kasus tersebut, masih ada kasus lainnya yang menarik perhatian masyarakat luas saat berinterkasi dengan dunia Maya. Seperti kasus mahasiswi yang di Demo warga Yogyakarta setelah mengumpat kata-kata tak pantas didunia maya setelah gagal mengisin bensin di sebuah SPBU.

Pengamat Komunikasi Massa, Agus Sudibyo berpendapat, belakangan ini dihadapkan pada keadaan di mana media sosial secara serampangan digunakan sekelompok orang untuk menghakimi atau menistakan pihak lain.

Serra dihadapkan kepada fenomena penggunaan media sosial sebagai sarana untuk memamerkan sikap acuh tak acuh, kemarahan dan kebencian terhadap kelompok tertentu.

Menurut Agus media sosial merupakan sarana untuk mewujudkan kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi.

Namun perlu ditegaskan bahwa kebebasan berpendapat atau kebebasan berekspresi melalui media mana pun tidak pernah sebebas-bebasnya tanpa batas dan etika.

"Kebebasan berpendapat dibatasi oleh hak-hak orang lain untuk diperlakukan secara layak dan adil, hak-hak setiap orang untuk mendapati ruang publik yang beradab dan menyejukkan," kata Agus di Jakarta, Kamis (3/11).

Dikatakan Agus, ruang publik adalah milik semua orang, oleh karena itu siapa pun yang berbicara di ruang publik harus memiliki kedewasaan, sikap bertanggung-jawab dan mampu berempati kepada orang lain.

"Kebebasan berpendapat yang tanpa etika dan sikap hormat kepada orang lain akan melahirkan anarki," ujarnya.

Oleh karena itu, menurut Agus, sangat penting untuk mengingatkan kepada semua pihak, khususnya unsur-unsur politik untuk tidak menggunakan media sosial maupun media massa sebagai sarana untuk menebarkan sikap permusuhan, kebencian, sikap acuh-tak-acuh yang berdimensi politik, agama, etnis maupun golongan.

"Media sosial dan media massa harus ditempatkan sebagai sarana untuk berbagi dan mewujudkan empati sosial," katanya.

Sementara Itu, pengamat media sosial yang sehari-hari bekerja sebagai Head of Information System Concentration di Doctor of Computer Science Binus University, Harco Leslie Hendric Spits Warnars mengatakan bahwa Netizen saat ini terbilang sudah dalam kondisi 'telanjang' ke Twitter, Facebook, Uber, dan lainnya. "Kita sudah mengabaikan proteksi diri di internet," ujar di Jakarta beberapa waktu lalu.

Dengan mudahnya pengguna 'menjual diri' di dunia maya, tak sedikit para peretas yang memanfaatkan kelengahan tersebut. Dengan demikian, peretas akan semakin mudah untuk membobol akun media sosial atau email korbannya.

Selain itu, kata Spits, para pengguna media sosial juga terlalu 'jujur' untuk menyampaikan sesuatu, padahal itu merupakan informasi pribadi.

Menurutnya, lebih baik memanipulasi informasi pribadi di media sosial sehingga peretas atu penjahat siber akan sulit menembusnya.

"Misalnya, kita memotret anak kita, kemudian diunggah ke media sosial. Itu kan riskan, karena bisa saja ada yang memanfaatkan untuk perdagangan anak. Meski tujuannya untuk berbagi kebahagiaan dengan keceriaan di keluarga kita, baiknya kita tidak terlalu banyak mengumbar informasi pribadi," tuturnya.(*/berbagai Sumber/Iman Suryanto)




Share on Social Media