News

Akademisi Jawa Timur:Migas untuk Rakyat? Jawa Timur Menggugat

| Selasa 21 Feb 2017 15:30 WIB | 1496



(Kiri ke Kanan) Foto Bersama Narasumber FGD “JAWA TIMUR MENGGUGAT” yang diikuti Perguruan Tinggi di Jawa Timur di F


MATAKEPRI.COM, Malang - Para akademisi perguruan tinggi di Jawa Timur mempertanyakan kesungguhan pemerintah dalam pengelolaan migas yang dalam pasal 33 UUD 1945 diamanatkan untuk mencapai kemakmuran sebesar-besarnya rakyat Indonesia. 

Kasus pencopotan Dirut dan Wadirut Pertamina pada Januari lalu menjelaskan bahwa BUMN ini tidak terlepas dari kelompok-kelompok kepentingan (Mafia). 

Sehingga akan sangat berbahaya jika Pertamina menjadi ‘holding company’ untuk perusahaan-perusahaan energi milik pemerintah, seperti yang sekarang sudah berproses.  

Oleh karena itu, Universitas Brawijaya memelopori “Jawa Timur Menggugat” dengan melakukan Focus Group Discussion (FGD) yang berthemakan “Migas Untuk Rakyat?”.  FGD yang berlangsung di Gedung Utama FEB Universitas Brawijaya, Malang ini dikemas dalam bentuk diskusi buku “Sistem Ekonomi Indonesia” yang ditulis oleh dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universtias Brawijaya, Malang yakni Prof DR Munawar Ismail, DR Dwi Budi Santosa dan Prof Erani Yustika, Senin (20/2/2017).

Sebagai nara sumber dalam FGD ini adalah Prof DR Munawar Ismail (Universitas Brawijaya, Malang), DR Dwi Budi Santosa (Universitas Brawijaya, Malang ),  Prof DR M Saleh (Universitas Negeri Jember), DR IR Muhammad Taufik (Universitas Teknologi Sepuluh November, Surabaya), DR Ahmad Jalaluddin (UIN Malang) dan. DR Sutikno (Universitas Trunojoyo, Madura). FGD ini dipandu Rohman Budiarto SH, MH (Direktur JPIP Jawa Pos) sebagai moderator.

“Kami mengundang para ketua Jurusan, Profesor dan doctor dari berbagai perguran tinggi di Jawa Timur ke sini. Mereka kami ajak untuk berdiskusi tentang masa depan migas Indonesia dan sekaligus manfaat langsung yang harus diterima oleh rakyat sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 33 UUD 1945,” ujar Prof DR Munawar Ismail.

 Bagi Munawar, FGD ini akan berjalan terus tidak hanya untuk satu kali saja mengingat tanpa disadari Indonesia berhadapan sekelompok kepentingan yang ternyata bukan dikehendaki negara ataupun rakyat. 

Peristiwa pencopotan direksi Pertamina secara bersamaan merupakan bukti nyata dari adanya kepentingan besar non negara dan rakyat yang terjadi di Pertamina. Dan kasus campur tangan non negara dan rakyat ini tidak hanya terjadi kali ini saja.

“Kemakmuran rakyat ternyata dicuri oleh kelompok kepentingan. Bagaimana mungkin 70 tahun merdeka, migas atau energi Indonesia yang begitu kaya tidak mampu menyejahterakan rakyatnya. Migas kita sudah banyak dicuri dengan cara yang sangat halus. Malaysia yang dulu belajar migas dari Indonesia, sekarang posisinya terbalik. Singapura yang tidak memiliki sumur-sumur migas ternyata mampu menjadi pengekspor. Indonesia ?” tanya Munawar.

Oleh karena itu, Guru Besar Universitas Brawijaya itu menegaskan, sudah saatnya rakyat menggungat. Rakyat Jawa Timur melalui akademisinya mulai menggugat kepada pemerintah dan Pertamina. 

Berharap bahwa, langkah Universitas Brawijaya ini dengan meluncurkan semangat “Jawa Timur Menggugat” dan mempertanyakan “Migas Untuk Rakyat?” akan diikuti oleh perguran-perguruan tinggi dari propinsi lain. Gerakan akademisi Jawa Timur ini merupakan “lampu merah”bagi Pertamina dan jajarannya. 

“Jawa Timur mengawali gugatan, karena Jawa Timur adalah cikal bakalnya NKRI. Dimulai dari berbagai kerajaan besar yang ada di sini termasuk Majapahit serta tempat para pahlawan kemerdekaan berasal.  Adalah Jawa Timur prihatin jika 70 tahun merdeka rakyat belum makmur dan sejahtera,” tegas Munawar. 

Sebelum ini, PLN diusulkan sebagai motor “holding company” bidang energi namun ditolak dan kemudian Pertamina menjadi “holding company”. 

Belajar dari kasus pencopotan direksi Pertamina secara mendadak setelah heboh impor Solar, para pembicara sepakat bahwa migas harus dikuasai dan dikelola negara. “Ini demi NKRI. Sebab, jika tidak, sangat berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa,” ujar Agus Suman.

Menurut Agus, selama ini pengelolaan migas di Indonesia cenderung dikuasai kelompok tertentu. Tragisnya, kekuasaan cenderung didominasi kelompok yang menyerupai gerak mafia. Dampaknya, masih menurut Agus, migas bukan untuk kemakmuran rakyat. Padahal, potensi migas Indonesia sangat besar untuk mencapi kemakmuran sebebsar-besarnya rakyat Indonesia dan sekaligus menyejahterakannya.

“Memang ironi, Madura yang kaya migas ternyata hasilnya tidak nikmati oleh masyarakat Madura. Bagi hasil yang tidak adil dirasakan oleh masyarakat Madura. Oleh karena itu, mengapa kini rakyat Madura menggagas untuk memisahkan diri dari proponsi Jatim. Madura hanya menerima Rp 600 juta per tahun dan kacaunya lagi, 90 persen dikuasai pihak asing,” ujar DR Sutikno. 

Yang perlu diketahui, demikian Sutikno mengungkap lebih lanjut, konflik Syiah-Sunni di Sampang diduga juga terkait dengan cekungan migas Sampang. Seluruh warga yang diungsikan dari desanya ternyata ada hubungannya dengan rencana eksplorasi migas di wilayah tersebut.(*)      



Share on Social Media