News

Buntut Pencopotan Direksi, Masa Depan Pertamina Dipertanyakan

| Kamis 09 Feb 2017 09:56 WIB | 1821



Sari Wahyuni Ph.D - President Indonesia Strategic Management Society dan Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas I


MATAKEPRI.COM, Jakarta - Karena mengemban sebagai alat strategis untuk mewujudkan amanat Pasal 33 - UUD 1945 yakni mencapai kemakmuran sebesar-besarnya bagi rakyat Indonesia, pimpinan puncak baru Pertamina harus memastikan dirinya tidak akan pernah terinvensi oleh kepentingan non negara.

Manajemen baru badan usaha milik negara itu, harus berani melawan kepentingan-kepentingan kelompok yang bertentangan dengan perwujudan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.

Hanya dengan cara ini, Pertamina dapat menjadi World Wide Corporation sebagaimana yang diharapkan oleh Presiden Joko Widodo.


 
Demikian ditegaskan oleh President Indonesia Strategic Managemen Society (PISMS), Sari Wahyuni Ph D kepada media, Kamis (9/2/2017) menanggapi dicopotnya dua pimpinan puncak Pertamina, Dwi Soetjipto dan Ahmad Bambang dari posisinya sebagai Direktur Utama dan Wakil Direktur Utama.
 
“Di tangan Dwi Soetjipto, sesuai dengan harapan Presiden, laba Pertamina telah melampaui Petronas. Itu bukan upaya yang mudah jika dilihat dari sejarah Pertamina sebelumnya. Menghapus peran Petral dan mata rantai bisnis Pertamina yang tidak efisien dilakukan oleh Dwi Soetjipto. Dirut Pertamina itu telah membuktikan bahwa di tangannya, BUMN yang karut marut itu bisa menjadi pemain kelas dunia dan bahkan  merambah ke manca negara,” ujar Sari Wahyuni yang juga dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEBUI) dalam rilis yang diterima.
 
Menurut Sari, dipilihnya Dwi Soetjipto sebagai orang nomor satu di Pertamina tidak terlepas dari rekam jejaknya sebagai orang nomor satu PT Sement Indonesia. 

Di tanganya, laba Semen Indonesia melonjak 11 kali lipat dalam waktu kurang lebih 9 tahun dari Rp 500 miliar menjadi Rp 5,5 triliun.
 
“Di Pertamina yang kata banyak orang sarang mafia, mata rantai yang tidak efisien pun dipotong mulai dari ditutupnya Petral hingga efisiensi tahun lalu mencapai US$ 608 juta atau hampir sekitar Rp. 8 triliun. Di saat Petronas memutus hubungan kerja 1000 orang , Pertamina tetap mempertahankan pegawainya bahkan meraup laba dari Rp. 18 triliun menjadi Rp. 19 triliun. Belum lagi berhasil diterapkannya harga BBM nasional diseluruh wilayah Indonesia,” jelasnya.

Dengan mengulang pernyataan Menteri BUMN Rini Soemarno pada 28 November 2014, dosen FEBUI itu mengatakan, penunjukkan Dwi Soetjipto sebagai orang nomor satu di Pertamina dengan goal mempercepat transformasi Pertamina untuk menjadi perusahaan kelas dunia dan sekaligus menerapkan sistim transparansi yang berlaku dari hulu hingga ke hilir.
  
Oleh karena itu, masyarakat Indonesia sudah dapat membaca apa yang terjadi dengan kasus pencopotan tersebut. Dan, akhirnya karena kasus ini, Pertamina harus menghadapi realita masa depan yang tidak jelas dan kelanjutan proses transformasi  dipertanyakan. 

Dan bagi Sari, pernyataan Menetri BUMN Rini Soemarno yang menjelaskan alasan personal dan dualisme kepemimpinan sebagai landasan penggantian direksi Pertamina dirasa sangat sederhana sekali.
 
“Pertanyaannya adalah bagaimana masa depan Pertamina. Fenomena ini banyak dijelaskan oleh para ahli di bidang manajemen strategis. Mintzberg dalam bukunya Proses Strategi Dengan Gambling menjelaskan bahwa betapapun bagusnya suatu strategi semuanya tergantung pada implementasinya. Penerapan strategi ini akan sangat ditentukan oleh pemimpinnya, budaya organisasi, SDM  sistim dan satu lagi yang sering terlupakan tapi bisa sangat menentukan adalah politik. Banyak orang yang berkompeten akhirnya tersungkur ataupun disingkirkan yang terakhir ini nampaknya yang terjadi di Pertamina. Jika seperti ini terus kondisinya, Pertamina sebenarnya tidak memiliki masa depan,” ujarnya.

Pertanyaan kedua, masih menurut Sari Wahyuni, adalah bagaimana masa depan amanat Pasal 33 UUD 1945 yakni demi kemakmuran sebesar-besarnya rakyat Indonesia yang harus dipikul oleh Pertamina dan industri migas Indonesia, akan diwujudkan. 

Dalam posisi ini, Pemerintah Joko Widodo harus berhati-hati, karena situasi tidak kondusif ini biasanya dapat mengkebiri organisasi atau bahkan membawa organisasi ke arah yang salah terutama ketika konflik memang ditunggangi oleh kepentingan – kepentingan tertentu. 

Banyak contoh dalam literature yang menegaskan bahwa “conflict is a silent weapon”  yakni konsentrasi dan energi korporasi justru lari ke konflik dan kinerja perusahaan terabaikan.(*)



Share on Social Media