Guru Agama Juga Harus Tanamkan Sikap kebangsaan

| Kamis 15 Dec 2016 20:27 WIB | 2134




MATAKEPRI.COM, Jakarta  -- Kehadiran guru agama di sekolah sejatinya tidak hanya menaburkan ajaran-ajaran keagamaan, tetapi mereka juga diharapkan mampu menanamkan dan mengembangkan sikap kebangsaan pada anak-anak didik, kata Dr Didin Syafruddin.

"Peran guru agama di berbagai sekolah akhir-akhir ini menjadi semakin penting di tengah tumbuhnya radikalisme di Indonesia," kata Peneliti Senior Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) Universitas Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta itu di Jakarta, Kamis (15/12).

Didin mengemukakan keterangan tersebut dalam seminar bertajuk Guru Agama, Toleransi, dan Isu-isu Kehidupan Keagamaan Kontemporer di Indonesia yang berlangsung di Ruang Teater Prof Dr Zakiah Daradjat Fakultas Psikologi UIN Jakarta.

Didin juga mengemukakan, mayoritas guru Pendidikan Agama Islam (PAI) mendukung Indonesia sebagai negara yang berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, namun mereka memiliki aspirasi yang kuat dalam penerapan Syariat Islam.

"Mayoritas guru PAI menolak kepemimpinan non-Muslim. Mereka juga menerima khilafiyah dalam bidang fikih sebagai perbedaan yang harus dihormati dengan baik, tetapi tetap menolak Ahmadiyah dan Syiah," katanya.

Pandangan peneliti senior yang menamatkan studi doktoral (PhD) di McGill University Montreal Kanada itu berangkat dari hasil penelitian PPIM terkait persepsi guru PAI tentang toleransi dan isu-isu kehidupan keagamaan kontemporer di Indonesia.

Penelitian itu sendiri berangkat dari asumsi bahwa guru PAI harus menyampaikan nilai-nilai kebangsaan dan keagamaan kepada anak-anak didik secara imbang, namun fakta berdasarkan hasil penelitian PPIM menyebutkan masih adanya bias.

Sampai sekarang, ungkap Didin, masih banyak guru agama yang belum memahami kedudukan pentingnya mengajarkan nilai-nilai kebangsaan. Tak hanya itu, beberapa guru agama pun terbukti ikut-ikutan terseret ke dalam pusaran paham yang cenderung eksklusif dan bahkan radikal.

"Bahkan, pemahaman sebagian guru agama pun berpotensi menggugurkan Pancasila dan UUD 45. Mengapa hal tersebut terjadi? Bagaimana sebetulnya persepsi seorang guru tentang konsep Islam dan Negara? Bagaimana juga seorang guru memahami ide toleransi?" ujarnya.

Melihat realitas seperti tu, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Dr Abdul Mu'ti memandang adanya kecenderungan penyamaan pemahaman soal pengajaran agama Islam di sekolah-sekolah. Akibatnya, nilai inklusivitas dan pluralitas pandangan keberagamaan bisa tergerus, apalagi buku ajar cenderung hanya memuat ajaran teologi dan ubudiyah, dibanding isu-isu sosial keagamaan.

Pada titik ini, Abdul Mut'i melihat perlunya penegasan siapa yang paling berhak mendidik dan meluluskan guru agama. Faktanya, banyak guru agama yang tidak mengerti pembacaan teks-teks keislaman.

Ia juga menyatakan prihatin banyak mahasiswa PAI yang tidak bisa membaca dan memahami Alquran dengan baik dan saat ini pengajaran agama Islam didominasi oleh sumber-sumber media elektronik dan internet.

"Tren yang lain adalah, misalnya, seseorang bisa masuk Fakultas Kedokteran dengan syarat hafal Alquran," katanya sambil menambahkan bahwa tren politik lokal berpengaruh pada kecenderungan keberagamaan. Abdul Mu'ti lebih lanjut menekankan perlunya membangun "mindset" (pola pikir) guru tentang peran mereka dalam penanaman inklusivitas kebangsaan serta inklusivitas sosial guna memahami pentingnya keberagaman sosial.

Sementara itu Direktur Pendidikan Agama Islam Kementerian Agama (Kemenag) RI Dr Imam Safei yang juga hadir sebagai pembicara dalam seminar tersebut melihat bahwa fakta-fakta yang ditemukan PPIM perlu mendapat perhatian khusus Kemenag.

"Untuk itu, Kemenag akan meningkatkan kualitas dan kuantitas guru agama di wilayah perbatasan RI. Kemenag juga mendorong Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan agar meningkatkan pembinaan terhadap guru PAI di sekolah-sekolah umum," katanya menjelaskan.



Share on Social Media