Kesehatan

RI Peringkat Tertinggi Kasus DBD

| Jumat 11 Nov 2016 20:52 WIB | 1321




MATAKEPRI.COM, Jakarta- Indonesia masih menduduki peringkat tertinggi dalam jumlah kasus Demam Berdarah Dengue (DBD) di ASEAN. Salah satunya disebabkan buruknya drainase di sekitar 90 persen kabupaten di Indonesia. Data Kementerian Kesehatan menunjukkan, 90 persen dari 500 kabupaten/kota yang ada di Indonesia merupakan daerah endemik.

"Termasuk di wilayah Jabodetabek," kata Kepala Badan Tenaga Nuklir Nasional (BATAN), Djarot Sulistio Wisnubroto, di Jakarta, Senin (7/11). Wilayah tersebut menjadi endemik salah satunya karena kondisi lingkungan yang kurang kondusif.

Di antaranya memiliki sistem drainase yang buruk, sehingga menjadi tempat potensial berkembangnya nyamuk Aedes aegypti yang menjadi perantara penyebaran DBD. Menurut Djarot, banyaknya saluran air yang mampet atau tidak dapat mengalir dengan baik menyebabkan banyak genangan air.
"Genangan tersebut menjadi tempat favorit berkembangnya jentik-jentik nyamuk Aedes aegypti," jelasnya. Tidak hanya itu, perubahan lingkungan akibat urbanisasi dan pembangunan pemukiman juga menjadi salah satu faktor risiko.

Termasuk banyaknya galian-galian bekas proyek pembangunan, atau galian yang tidak tertutup sempurna juga bisa menjadi faktor penyebab nyamuk mudah berkembang. Djarot mengatakan, berbagai metode untuk mengurangi kasus DBD telah dilakukan. Mulai dari pemasangan kawat nyamuk di ventilasi rumah, menyebarkan vaksin, sampai penyemprotan.

Namun menurut Djarot, pengendalian DBD selama ini cenderung hanya dilakukan melalui pengendalian vektornya. Cara yang paling populer adalah gerakan 3M (menguras, menutup dan mengubur). Kemudian berubah menjadi 3M plus (gunakan larvasida, kelambu, kawat kasa dan obat anti nyamuk)," tambahnya.

Namun sayangnya, cara-cara pencegahan tersebut masih tidak efektif, bahkan disebut sebagai salah satu penyebab pencemaran lingkungan. Djarot mengatakan, di sejumlah negara telah diperkenalkan teknik pengendalian DBD yang dikembangkan oleh Oxcitec dari Oxford, Inggris dan Australia, yaitu penggunaan nyamuk Aedes aegypti yang tubuhnya diinfeksi oleh bakteri wolbachia.

Kedua cara terakhir ini pada akhirnya banyak ditentang karena merupakan hasil rekayasa genetika yang dikhawatirkan akan menimbulkan dampak di kemudian hari. Sampai kemudian ditemukan TSM (Teknik Serangga Mandul) yang digunakan untuk memandulkan nyamuk jantan dengan radiasi sinar gamma.

Tujuan dari teknik tersebut adalah menurunkan jumlah populasi nyamuk dengan cara menyebarkan nyamuk jantan pada habitatnya. "Meskipun terjadi perkawinan, antara nyamuk jantan dan betina namun tidak akan terjadi pembuahan," papar Djarot. Dengan demikian, jumlah populasi nyamuk Aedes aegypti berangsur-angsur akan menurun.

Peneliti BATAN, Ali Rahayu menambahkan teknologi serangga mandul (TSM) efektif mengatasi kasus DBD. "Efektivitas penurunan populasi nyamuk Aedes aegypti bisa mencapai 96,35 persen," katanya.

Studi Banding Dirjen Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa, Kemeterian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Ahmad Erani Yustika mengatakan dirinya baru saja menerima tamu dari India yang berencana melakukan studi banding dalam program-program pemberdayaan masyarakat untuk mengatasi persoalan kesehatan dan pendidikan di Indonesia.

Mereka studi banding ke kita karena memiliki banyak kesamaan, baik dari sisi kondisi geografis dan juga penduduk. Utamanya, bagaimana pemerintah melibatkan masyarakat desa untuk menjadi mitra dalam mengatasi persoalan kesehatan dan pendidikan di Indonesia. (KJ/q)


Share on Social Media

Berita Terkait

Tidak ada berita terkait