International, News

Siapakah Joanna Palani, Yang Di Buru ISIS

Juliadi | Kamis 27 Jun 2019 13:38 WIB | 2729



Istimewah


MATAKEPRI.COM - Sempat menjadi perbincangan pada 2017 lalu, usai mengklaim telah membunuh 100 anggota ISIS, seorang perempuan yang menjadi penembak runduk alias sniper dalam perang di Suriah ini kini kembali menjadi topik pembicaraan.

Joanna Palani, yang kini berusia 26 tahun, merupakan perempuan berkewarganegaraanDenmark, yang dikenal akan kisahnya terlibat dalam peperangan melawan ISIS di Suriah.



Palani bergabung dengan Unit Perlindungan Wanita Kurdi (YPJ) pada 2014 silam dan bertugas sebagai penembak runduk. Selama berperang melawan ISIS, Joanna mengaku telah menembak mati hingga 100 anggota ISIS.



Akibatnya, Palani diburu oleh ISIS dan kepalanya dihargai hingga 1 juta dollar AS atau sekitar Rp 14 miliar.



Tak hanya itu, setelah kembali dari peperangan, dia juga harus menjalani hukuman penjara selama sembilan bulan di Denmark karena telah bergabung dan berperang sebagai seorang prajurit tidak resmi.



Pemerintah Denmark juga telah menjatuhkan larangan untuknya ke luar negeri untuk Palani, dan paspor miliknya dicabut.


Asal Usul Keluarga


Palani lahir di sebuah kamp pengungsian di Gurun Ramadi, Irak, selama Perang Teluk pada 1993. Dia memiliki garis keturunan Iran-Kurdi dan bermigrasi ke Denmark saat masih berusia tiga tahun.



Dia dan keluarganya saat itu diberangkatkan menuju Denmark sebagai bagian dari program kuota untuk para pengungsi.



Keluarga Palani harus meninggalkan Iran Kurdistan karena alasan politik dan kebudayaan. Terutama karena pemerintahan oleh mantan pemimpin tertinggi Iran, Khomeini.



"Keluarga saya menentang perang Islam yang dimulai oleh Khomeini terhadap kaum Kurdi Sunni," ujarnya.



"Kedua ayah dan kakek saya adalah pejuang Peshmerga.. Pada akhirnya, kami harus meninggalkan Kermanshah menuju Ramadi di Irak," tambahnya.



Denmark menjadi dunia yang sama sekali baru bagi Palani dan keluarganya, di mana dia tumbuh menjadi remaja dan sadar akan budaya patriarkal yang telah menyebar luas ke wilayah Timur Tengah. Palani menjadi terdorong untuk memulai revolusi melalui aksi militan.



Pergi ke Medan Perang



Pada 2014, Palani memilih keluar dari perguruan tinggi di usia 21 tahun dan melakukan perjalanan ke Suriah.



Palani menceritakan pengalamannya berperang di garis terdepan ke dalam buku karyanya, yang berjudul "Freedom Fighter: My War Against ISIS on the Frontlines of Syria", yang dirilis pada awal tahun ini.



"Saya mengawali dengan menjadi penyabot militan, tetapi selama pertempuran terakhir di Suriah, saya menjadi penembak runduk," kata Palani.



"Saya dilatih oleh banyak kelompok di Kurdistan dan di luar wilayah Kurdi di Suriah," tambahnya.



Selama di Timur Tengah, Palani adalah bagian dari pasukan yang membebaskan sekelompok gadis Yazidi yang diculik untuk dijadikan budak seks di Iran. Dia juga dilaporkan memerangi pemerintahan rezim Bashar al-Assad di Suriah.



Pulang ke Denmark



Kembali ke Denmark, Joanna Palani, menghadapi kehidupan yang berbeda dengan saat sebelum dirinya ke Suriah. Dia dipandang sebagai sosok yang berbahaya oleh masyarakat, bahkan orang-orang terdekatnya.



Meski dia mengaku sadar dengan konsekuensi dari pilihannya bergabung dalam perang melawan ISIS, namun dia tidak menyangka bakal diusir oleh keluarganya sendiri sebagai hasil dari ideologinya.



"Dulu dalam pemikiran saya tentang konsekuensi pilihan saya adalah kemungkinan saya akan ditangkap oleh ISIS," ujarnya.



"Saya tidak pernah percaya bahwa hasilnya, yang berdampak pada hidup saya, akan muncul dari orang-orang yang saya cintai," tambahnya.



Palani mengatakan, hal yang paling menyedihkan adalah bahwa ketakutan, bahaya, dan kebencian yang dirasakannya dari musuh-musuhnya di medan perang, tidak sebanding dengan rasa sakit yang dirasakannya ketika komunitasnya sendiri meninggalkannya.



Kembali ke Denmark terbukti lebih sulit dari yang semula dipikirkannya, terutama karena masalah keuangan dan sosial, termasuk saat pemerintah Denmark menjatuhkan hukuman sembilan bulan penjara.



Tanpa uang, tempat tinggal, maupun lingkungan sosial yang tersedia baginya, Joanna merasakan pemerintah yang seharusnya menfasilitasi pejuang yang kembali, menjadikan segala sesuatunya menjadi lebih sulit.



"Saya tidak pernah memiliki seseorang yang hadir di persidangan untuk mendampingi saya."


"Negara yang sama di mana saya rela mempertaruhkan hidup, kini ingin merenggut kebebasan saya. Sampai saat ini, saya praktis tidak memiliki apa-apa,"ujarnya.


Harapan dari Memoar


Sementara banyak pejuang maupun ekstremis yang kembali dari perang mendapat dukungan mentor dan konseling psikologis untuk transisi kembali ke masyarakat, Palani merasa dirinya tersisih.



"Yang lain sudah diurus sedangkan saya dihukum. Saya tidak berjuang untuk iman atau bangsa saya sendiri, tetapi juga dunia luar yang terancam oleh keberadaan ISIS."



"Saya tidak menyangkal keputusan itu dibuat sepenuhnya oleh diri saya sendiri.. Saya harus berpegang teguh dan menjaga kepala saya tetap tegak," kata Palani.



Sementara Palani berusaha untuk menjalani persoalan hukumnya, dia merasakan apa yang dia sebut sebagai "pengkhianatan besar".



Memoarnya yang berjudul "Freedom Fighter: My War Against ISIS on the Frontlines of Syria", yang ditulisnya saat malam-malam yang penuh tekanan dan tanpa tidur, memberinya harapan. (***)

Sumber : Kompas.com 



Share on Social Media